HARLA 1 LSBO KHALIFAH

Pentas Seni Untuk Amal Panti Asuhan Di Kota Manado, Yang Dibuka Dengan Seminar Budaya dan Pameran Foto Pendidikan LSBO Khalifah

PENDIDIKAN DAN PENERIMAAN ANGGOTA BARU

Foto Bersama Pengurus LSBO Khalifah dan Anggota Baru Setelah Melewati Malam Pengukuhan dan Renungan Di Pondok Pesantren Al-Khairaat Mapanget Manado.

KORPS PUTRI LSBO KHALIFAH

Lagi Asyik Nonton and Menyemangati Tim Futsal Divisi Olahraga LSBO Khalifah..Bersemangat....!!!!

PENTAS SENI AWAL TAHUN

Foto Bersama Anggota Lembaga Seni Buadaya dan Olahraga Khalifah Di Acara Pentas Seni Awal Tahun Perkuliahan STAIN Manado

KORPS PUTRI LSBO KHALIFAH

Setelah Mengurusi Kegiatan, Anggota Korps Putri Masih Sempat Berfoto Ria ...... Masih Tetap Semangat... Bravo Korps Putri...

TAHUN BARU ISLAM

Anggota Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Memeriahkan Acara Satu Muharram 1431H Dengan Mengikuti Pawai Keliling Kota Manado Sulawesi Utara

LSBO KHALIFAH

Kalau Kau Tidak Ingin Diganggu Jangan Kau Mengganggu...!!! Sebab Kami Tidak Mau Diganggu...!!! Jika Kau Akan Melakukan Kerusakan Di STAIN Manado, Maka Kau Berhadapan Dengan Kami...!!!

LAIN PERGI YANG LAIN DATANG

Foto Bersama Pasca Pemutihan Anggota LEmbaga Seni Budaya dan Olahraga LSBO Khalifah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN Manado

Rabu, 19 September 2012

Rekrut Mahasiswa Baru, LPT Buat Dosa Baru



Anggota LSBO Khalifah


Setiap pergantian tahun ajaran baru, para birokrasi LPT disibukkan dengan kegiatan mencari mahasiswa baru untuk menambah kuantitas lembaga perguruan tinggi yang ada. Tidak perduli walaupun pada kenyataannya banyak yang melakukan sosialisasi hanya sekedar untuk rekreasi belaka atau hanya sekedar mendapatkan honorisasi dari kegiatan tersebut, sehingga kebanyakan pada masalah-masalah seperti ini mahasiswa lama sering dan tidak sama sekali dilibatkan, alasannya pasti model "zaman batu", bahwa mahasiswa lama yang ikut dalam sosialisasi dalam segi pemberian honorisasi misalnya dimasukkan atau digolongkan pada golongan yang mana, golongan 'A', golongan 'B' atau golongan 'Syetan', terlepas dari semua itu, penulis berasumsi bahwa mahasiswa lama mempunyai andil yang sangat besar dalam perekrutan mahasiswa baru, sebab mahasiswa lama pergaulannya lebih luas di samping itu banyak dari sekian mereka yang membina badan tadzkir, club-club olahraga, lembaga seni, yang ada di SMU/SMA/MAN tersebut dibandingkan dengan tim sosialisasi yang hanya melibatkan para dosen, staf/karyawan yang sudah dimakan usia dan sudah dirindukan oleh cacing-cacing tanah yang telah merasa kelaparan. Pertanyaan sekarang adalah mengapa mahasiswa lama dalam proses sosialisasi tidak sama sekali dilibatkan? Apakah para birokrasi LPT tidak mau kalau mahasiswa lama mengobok-obok kejelekan dan keburukan kampusnya sendiri? Ataukah para birokrasi LPT takut kalau pamflef, brosur dan spanduk yang bertuliskan bahwa kampus mereka adalah "Unggul dan Berkualitas" serta janji-janji lainnya untuk dapat mempengaruhi mereka agar masuk di LPT akan bertentangan dengan pemikiran dari mahasiswa lama? Paradoksal di atas merupakan imbas dari LPT yang tidak percaya diri dengan kekurangan mereka miliki selama ini, sehingga dengan sewenang-wenangnya mereka berbuat hal-hal yang dianggap tidak sejalan dengan identitas LPT yang dipimpinnya, bahkan jika perlu main suap asalkan sang anak dapat masuk di lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Agar tidak terjebak pada janji-janji yang sifatnya semu, maka sudah saatnya LPT mengubah sistem sosialisasi yang selama ini mereka tempuh dengan cara memaparkan apa adanya, tanpa ada pembohongan kepada publik, sehingga kita dapat terhindar dari 'lingkaran dosa' serta berusaha untuk memperbaiki sistem yang selama ini dilakukan untuk menjadikan para lulusannya menjadi lebih baik diantara yang terbaik, baik dari segi peningkatan kualitas dosen, sistem kurikulum, manajemen sehingga dengan hal ini masyarakat akan sadar dan paham bahwa LPT tersebut itu benar-benar berkualitas dan bergengsi, maka dengan sendirinya mereka akan memasukkan anak-anaknya untuk masuk dan berlomba-lomba ke LPT yang dianggapnya mewakili apa yang diharapkannya dan inilah salah satu cara untuk mensosialisasikan LPT tanpa menghambur-hamburkan dana yang mencapai puluhan juta tetapi hasilnya nihil. 

Namun perlu disadari menjadi seorang sarjana adalah dilema besar. Jika mereka tak mampu berbuat apa-apa, maka bukan hanya masyarakat yang mencela. LPT tempat mereka berproses, sebagai sarjanapun juga ikut menyalahkan. Benarkah, banyaknya sarjana kita sebagai penganggur adalah kesalahannya sendiri? Hal inilah yang jarang dipertanyakan. Sebab kampus sudah menjadi "tempat suci" yang disakralkan. Celakanya diperparah juga oleh media yang jarang menyoal pertanggungjawaban LPT. Ini bisa dimengerti. Karena mereka turut berkepentingan dengan suburnya bisnis LPT. Diduga, guyuran pemasangan iklan, di media, saat musim penerimaan mahasiswa baru, bisa bernilai ratusan juta hingga milliaran rupiah, bahkan dengan sombongnya mereka memasang slogan, pamflet, serta iklan dengan tulisan "Unggul Dan Berkualitas", hal itu menurut penulis sangat ideal jika LPT tersebut benar-benar mengerti dan paham akan maksud dari iklan tersebut, namun yang jadi masalah adalah ketika LPT tidak mengerti dan paham dengan maksud dari iklan tersebut, sehingga penulis dapat berasumsi bahwa hal ini merupakan "dosa bersama" yang dilakukan oleh sebuah LPT untuk menarik perhatian masyarakatnya. Kondisi tersebut tidak adil. Hal ini sungguh bertolakbelakang dengan rayuan dan janji-janji saat promosi untuk menarik calon peserta didik baru di LPT,. Kalau mau jujur. Tanpa banyak disadari, sebetulnya lembaga pendidikan tinggi mencetak sampah masyarakat. Seorang bergelar sarjana menjadi tidak berguna, ketika kebingungan menentukan perannya ditengah-tengah masyarakat. LPT terkesan tidak mau tahu dengan lulusannya. Yang banyak dilakukan, hanya mencatat alumninya yang sukses bekerja. Padahal seharusnya mereka berani bertanggungjawab dengan ketidakberhasilannya membuat para sarjana eksis ditengah masyarakat. Ketidakmampuan seorang lulusan LPT yang kini jumlahnya makin membengkak, sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh buruknya proses belajar, yang digunakan selama ini. Cukup susah untuk mendefinisikan apa saja yang menjadi penyebab utamanya. LPT, dengan segala cara, akan mempertahankan citranya tetap baik di tengah masyarakat. Semakin keras dipertanyakan kualitasnya, maka semakin hebat mereka mengelak. Tetapi ada satu jurus yang sulit untuk didebat dengan dalih apapun. Termasuk dalih tidak ilmiah, dan tidak akademis. Sebagaimana sering dijadikan penangkal, dari serangan kritik. Jika memang benar, LPT telah mendidik seseorang dengan berkualitas, beranikah mereka membuat perjanjian yang berkekuatan hukum? Alih-alih apabila ternyata lulusannya tidak sesuai, dengan janjinya saat promosi, akan sukarela digugat di pengadilan sekalipun. Olehnya sudah seyogyanya LPT memerlukan beberapa hal agar mereka dapat bersaing dalam perekrutan mahasiswa baru dan dapat menjadikan lulusannya bisa bersaing, diantaranya adalah:

Pertama, Pentingnya membuat perjanjian dengan calon siswa sebelum masuk ke LPT, akan benar-benar menjadi seleksi mana LPT yang sesungguhnya lebih berkualitas dalam mencetak sarjana. Sebab, LPT yang tidak bermutu proses belajar-mengajarnya, segera akan tersisih. Hal ini menuntut agar LPT segera mendapatkan sistem penentuan kualitas ala Badan Akreditasi Nasional (BAN), memang harus diakui penentuan kualitas dari BAN, hukumnya adalah Sunnah, namun perlu diingat bahwa banyak sarjana yang dihasilkan oleh sebuah LPT tidak diterima di dunia pasar kerja disebabkan oleh permintaan pasar yang menghendaki agar mereka menyertakan langsung sertificat yang dikeluarkan langsung oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Oleh sebab itu, sistem yang selama ini menjadi sebuah kebanggaan dan diterapkan oleh sebuah LPT perlu dikoreksi kembali. Untuk menentukan kualitas LPT tidak cukup dilihat, dari berapa jumlah pengajar bertitel S2 maupun S3 yang dimiliki. Kemudian perangkat fasilitas dan bangunan yang megah. Penelitian-penelitian yang meragukan akurasinya. Tentunya, akreditasi berdasarkan hal tersebut berpotensi menyesatkan serta semakin menjauhkan cita-cita LPT itu sendiri dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Termasuk konsekuensi bagi penyelenggara, untuk sukarela dituntut apabila tidak sesuai dengan promosi yang pernah dilakukan. Diantaranya, bersedia mengembalikan biaya pendidikan seratus persen selama proses pendidikan. Termasuk bila perlu dituntut dimuka pengadilan. 

Substansi apa yang dilakukan oleh LPT tersebut bisa menjadi bahan perenungan bersama. Kiranya, apabila tujuhpuluh persen saja para penyelenggara pendidikan dinegeri ini, termasuk LPT mampu membuat perjanjian yang berkonsekuensi hukum seperti itu, maka secara drastis pula kita akan melihat sarjana yang tidak berdaya menurun jumlahnya. Missi dan visi pendidikan LPT, seyogyanya, bukan hanya pemanis identitas saja. Tetapi perlu dituangkan secara riil mulai bentuk perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan program pendidikan yang jelas, terarah dan bertanggungjawab. 

Kedua, membuang jauh-jauh "doktrin sesat" bahwa mahasiswa yang akan masuk dan belajar diperguruan tinggi yang disosialisasikannya akan selamanya berhasil sebab lapangan pekerjaan sangat luas, ditinjau dari sisi psikologi hal ini tentunya akan sangat merugikan mahasiswa dan tenaga pengajar itu sendiri, sebab di samping mahasiswa akan semakin malas untuk memacu dirinya dalam pengembangan intelektualitasnya hal ini akan diperburuk lagi oleh keadaan para pengajar/dosen yang malas dalam mentransfer ilmunya kepada mahasiswa yang menjadi bimbingannya.

Ketiga, LPT sudah seyogyanya membuka diri dengan jaringan-jaringan yang dianggap relevan dengan pengembangan dan penunjang efesiensi proses belajar mengajar, sehingga akan tercipta suasana yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Serta membuka jaringan kerjasama dengan seluruh sekolah-sekolah yang ada dipermukaan bumi ini, sehingga dengan demikian pada saat perekrutan mahasiswa baru LPT tidak lagi menghambur-hamburkan dana tetapi hasilnya adalah nihil belaka.

Keempat, sudah saatnya LPT memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk dapat berkreasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya selama hal itu dapat menguntungkan bagi dirinya dan LPT itu sendiri, dan bukan sebaliknya "memeras dan memenjarakan" segala aktivitas mahasiswa dengan cara mengurangi nilai mahasiswa, mengklaim mahasiswa itu tidak mempunyai etika, bahkan lebih tidak manusiawi lagi sampai mengancam dan memukul mahasiswa yang tidak sejalan dan seirama dengan kebijakan yang diambil oleh LPT.

Berangkat dari beberapa kemungkinan di atas maka penulis percaya bahwa birokrasi LPT yang mengumbar janji-janji akan terhindar dari dosa baru dan dosa bersama pula, sebab apa yang mereka janjikan pada saat sosialisasi benar-benar dari kenyataan yang ada di LPT tersebut. Terlepas dari janji-janji yang terasa manis dibibir dan terasa pahit rasanya adalah sangat sulit untuk direalisasikan selama LPT masih bersifat dan membawa idealismenya yang mereka dapatkan dari "zaman batu" yang tidak lagi ada relevansinya dengan zaman sekarang, zaman ini memerlukan pemikiran yang lebih serius dan matang, bukan saatnya lagi sebuah kinerja dihargai dengan penggolongan honorisasi belaka tetapi yang perlu adalah bersama-sama menciptakan suasana bersifat educatif.

PENYAKIT ORGANISASI

Oleh : Irawan Lahay
Ketua LSBO Khalifah 2009-2010

Dalam dunia bisnis ada berbagai macam fenomena menarik. Ada pengusaha dan/atau perusahaan yang cenderung suka "bermimpi" dalam arti merumuskan tujuan perusahaan setinggi langit tanpa pernah tercapai. Sebaliknya, banyak pula yang terlalu menerima kenyataan, statis dan sangat khawatir terhadap adanya perubahan dan tidak pernah berani bermimpi! Sebenarnya fenomena ini sangat umum di Indonesia, bahkan mungkin mewakili sebagian besar wajah perusahaan Indonesia baik swasta, pemerintah atau pun BUMN. Itulah sebabnya mengapa lebih banyak kredit macet disebabkan oleh pengusaha-pengusaha besar dibandingkan pengusaha kecil. Itu sebabnya pula mengapa perekonomian Indonesia terpuruk dan tidak kunjung bangkit, padahal di negara Asia yang sama-sama terkena krisis ekonomi sudah berhasil melewati masa krisis tersebut bahkan tingkat pertumbuhan ekonominya sudah makin baik, contohnya Thailand dan Korea Selatan.   


Gejala
Menurut William A. Cohen (1993), seorang profesor dari California State University-Los Angeles, sebuah perusahaan atau organisasi dapat di padankan dengan pribadi individu. Seperti hanya kepribadian individu yang dapat mengalami gangguan, demikian juga organisasi. Jika organisasi itu terserang penyakit, maka orang-orang yang bekerja di dalamnya pasti akan terkena dampaknya secara langsung. Ada bermacam-macam gangguan mental yang dapat dialami oleh organisasi; dan tiap organisasi bisa mengalami gangguan yang berbeda. Beberapa gejala yang kelihatan di antaranya seperti ketiadaan struktur yang jelas dan pasti, tidak adanya suasana saling percaya, kebiasaan mudah memecat karyawan, kebiasaan suka menipu klien atau supplier, membohongi pelanggan dan suka ingkar janji, kelesuan yang dirasakan oleh hampir seluruh karyawan, banyaknya korupsi, membudayanya kolusi dan nepotisme, maraknya isu SARA di dalam organisasi, adanya perlakuan diskriminasi di antara karyawan, adanya kebiasaan menunda keputusan atau pekerjaan, sulitnya memperoleh komitmen atasan dan masih banyak gejala lainnya.   


Sebab dan Akibat
Banyak sekali hal yang dapat menjadi sumber penyakit dalam kehidupan organisasi. Menurut Kernberg, seorang profesor sekaligus psikiater ternama yang sangat dipengaruhi oleh aliran psikoanalisa, suatu organisasi bisa saja mengalami kemunduran karena organisasi tersebut mempunyai "racun" di dalamnya. Racun itu bisa berbentuk gangguan kepribadian yang dialami oleh pimpinan dan kemudian menjalar ke karyawan, bisa juga kebudayaan organisasi itu yang patologis atau kesalaham sistem baik itu sistem pemerintahan ataupun sistem intra organisasi.
Sementara itu, akibat dari penyakit atau gangguan yang dialami organisasi akan membawa pengaruh yang serius seperti:
·         Menghancurkan moral anggota
·         Menurunkan produktivitas aktifitas
·         Menurunkan kualitas yang dihasilkan oleh organisasi tersebut.
·         Menyakiti hati pihak-pihak yang berhubungan dengan organisasi
·         Membuat frustrasi anggota, terutama anggota potensial
·         Menyebabkan organisasi tersebut mengambil keputusan atau pun tindakan yang tidak rasional
·         Menaruh perhatian pada hal yang tidak relevan dengan orientasi organisasi tersebut.
·         Berpotensi menghancurkan potensi kepemimpinan yang dimiliki oleh organisasi
·         Menghancurkan hubungan baik dengan organisasi lain yang telah dibina selama bertahun-tahun


Tindakan
Banyak orang atau perusahaan melakukan kesalahan fatal dengan hanya memperbaiki keadaan yang tampak (gejala) dari permukaan tanpa mencari dan memahami latar belakang psikologis dari penyebabnya. Akibatnya, masalah yang sama terus-menerus terjadi bahkan tambah parah. Alangkah baiknya jika penanganan yang diberikan pada organisasi atau pun individu ini disesuaikan dengan jenis gangguannya. Karena tiap gangguan mempunyai karakteristik yang berbeda dan membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Dalam menangani masalah organisasi, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melakukan analisa terhadap keseluruhan komponen organisasi, mulai dari orangnya, sistem, struktur, budaya, dan komponen lainnya. Jika sudah ditemukan di mana akar masalahnya, maka harus segera diberi penanganan yang didesain khusus untuk permasalahan tersebut.

AKAR KEBUDAYAAN BARAT

Oleh :Ming Minor
Anggota LSBO Khalifah
Kontribusi dari Hamid Fahmy Zarkasyi

Pendahuluan

Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun, suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan dengan kebudayaan lain dan saling meminjam. Proses pinjam meminjam antar kebudayaan hanya bisa terjadi jika masing-masing kebudayaan memiliki mekanismenya sendiri-sendiri. Pada umumnya sarjana Barat modern membagi sejarah Barat (Eropah) menjadi zaman kuno, zaman pertengahan dan zaman modern. Yang kuno dibagi menjadi Yunani dan Romawi. Zaman Pertengahan dikelompokkan menjadi zaman Kristen awal, transisi dari kuno ke Pertengahan dan Pencerahan. Ini berarti bahwa akar zaman modern adalah Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan. Akan tetapi para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai
asal usul kebudayaan mereka.

Perbedaan itu meruncing ketika para sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya, sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab faktor keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan akifitas sosial, politik, ekonomi dan aktifitas kultural lainnya. Dengan kata lain, kerja-kerja intelektual dan keilmuan anggota masyarkatlah sebenarnya yang melahirkan kebudayaan. Ini berimplikasi bahwa diatas konsep-konsep keilmuan terdapat suatu sistim dan super sistim yang disebut dengan worldview (pandangan hidup atau pandangan alam). Suatu peradaban tidak akan bangkit dan berkembang tanpa adanya pandangan hidup dan aktifitas keilmuan di dalam masyarakatnya. Demikian pula Barat, sebagai kebudayaan, tidak akan bangkit dan berkembang dan melahirkan sains tanpa memiliki pandangan hidup
terlebih dahulu.  Atas dasar itu, maka makalah ini akan mengkaji akar kebudayaan Barat dengan melacak fondasi kebudayaan itu dari sisi pemikiran filsafat dan sains yang melibatkan transmisi pandangan hidup.

Dari Kebudayaan Yunani

Seperti yang telah disebutkan diatas, Yunani adalah faktor penting bagi kebangkitan kebudayaan Barat, meskipun mereka masih berselisih tentang bagaimana faktor tersebut berperan dalam kebudayaan itu. Dalam menggambarkan munculnya filsafat dan sain, para sejarawan Barat, memiliki dua pendekatan. Pertama, bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat adalah warisan intelektual Yunani. Jones dalam A History of Western Thought, misalnya menganggap bahwa “mungkin sejarah kebudayaan Barat bermula dari bermulanya filsafat Barat, dan filsafat Barat dimulai dari abad ke 6 SM dengan tokohnya Thales, Bapak filosof Yunani dan juga dunia Barat”

Pendekatan ini didukung oleh R.B.Onians, W.H.A.Arthur dan lainnya. Asumsi pendekatan ini berdasarkan pada fakta bahwa konsep-konsep mendasar pada filsafat Yunani seperti hakekat akal, jiwa, hidup, hubungan jiwa dan raga dan lain-lain ditangkap oleh para filosof Barat yang datang kemudian lalu diterima oleh bangsa-bangsa semit, Indo-Eropah dan Anglo-Saxon. Namun pada tahap ini, mereka tidak lagi mengakui adanya pengaruh filsafat Yunani. Bagi mereka filsafat Yunani telah dikubur dalam (burried deep), dan tumbuh berkembang dalam pikiran individu dan aliranaliran, meskipun individu filosof atau aliran-aliran tersebut hanya sekedar melakukan kritik dan imporvisasi terhadap konsep-konsep Yunani tersebut. Cara pandang ini berbeda dari cara pandang orientalis ketika membaca sejarah filsafat Islam. Filsafat Islam hanya dianggap carbon copy dari filsafat Yunani. Nampaknya framework ini berusaha untuk mengkaitkan pemikiran Yunani dengan Indo-Eropah melalui persamaan konsep-kosepnya. Framework kedua yang dipelopori oleh Couplestone dan Holmes menganggap framework ini lemah, sebab sekedar melacak persamaan akan mengakibatkan kesimpulan bahwa jika suatu pemikiran memiliki kesamaan dengan yang lain, maka yang satu berasal dari yang lain. Artinya suatu pemikiran bangsa manapun yang sama dengan pemikiran Yunani bisa dianggap berasal dari Yunani, padahal persamaan tidak selamanya berimplikasi asal usul.

Menurut framework ini antara Barat dan Yunani terdapat hubungan, tapi bukan dalam arti meminjam, asal usul atau permulaan. Bagi Couplestone setiap kali terdapat kesamaan pemikiran antara seorang pemikir dan pemikir lain yang datang kemudian tidak selamanya berarti yang datang kemudian meminjam dari yang pertama. Ionia adalah tempat kelahiran pemikiran Barat, tapi baginya Barat tidak meminjam ide-ide dari Yunani. Holmes juga tidak menggunakan istilah “permulaan” atau “asal usul”, dan sebagai gantinya ia memakai istilah melihat “kebelakang”. Artinya Eropah Barat secara alami melihat kebelakang kepada kebudayaan Yunani abad ke lima SM. Artinya meskipun Barat lahir dari Yunani, tapi ia tidak bermula dari sana. Ia berkembang dengan cara dan tempat yang berbeda. Kedua framework diatas seakan ingin menunjukkan disatu sisi bahwa filsafat Yunani adalah satu faktor, sedangkan filsafat Barat adalah faktor yang lain.

Namun disisi lain juga tidak dapat diingkari bahwa keduanya saling berhubungan dalam kurun waktu yang panjang melalui proses asimiliasi yang asasnya adalah aktifitas intelektual yang melibatkan faktor-faktor lain selain Yunani sendiri. Sebab Yunani sendiri tidak dapat di anggap satu-satunya faktor penentu atau sumber bagi kebangkitan kebudayaan Barat. Dalam hal ini Coupleston membuat permisalan bahwa:Menganggap bahwa jika beberapa adat istiadat atau ritual Kristen yang sebagiannya berasal dari Agama-agama Asia Timur, maka [berarti] Kristen pasti telah meminjam adat dan ritus itu dari Asia adalah absurd. Sama absurdnya ketika menganggap jika pemikiran spekulatif Yunani mengandung beberapa pemikiran yang sama dengan filsafat Timur, maka yang kedua bersumber secara historis dari yang pertama. Padahal, akal manusia sangat mungkin untuk melakukan interpretasi terhadap pengalaman yang sama dengan cara yang sama…..walaupun ketergantungan aliran-aliran Filsafat Romawi terhadap pendahulu mereka dari Yunani tidak dapat dipungkiri, namun kita tidak dapat menafikan wujudnya filsafat di dunia Romawi.

Pernyataan di atas berarti bahwa filsafat Yunani dan Barat tidak dapat dianggap sesuatu yang kontinum. Yang kedua tidak semestinya berakar pada yang pertama. Jika framework ini ditrapkan pada alam pikiran Islam, maka filsafat dan sains yang dihasilkan oleh Muslim pada Abad Pertengahan dapat dikatakan sebagai filsafat dan sains Islam dan tidak ada kaitannya dengan Yunani. Tapi sayangnya framework ini ditrapkan hanya pada filsafat dan pemikiran Barat dan tidak ditrapkan pada pemikiran dan filsafat Islam. Meskipun Muslim dianggap telah meminjam beberapa elemen penting dari Yunani, India dan Persia, mereka tidak dapat dikatakan sebagai sumber filsafat dan sains Islam. Sebab pinjam meminjam antar kebudayaan adalah sesuatu yang alami pada setiap kebudayaan.

Dari Abad Pertengahan

Jika Ionia, tempat bermulanya pemikiran Yunani, dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan Barat, maka seharusnya ia bermula dari sana dan terus berkembang hingga abad modern. Seperti seorang manusia, suatu kebudayaan lahir tumbuh terus menerus dan kemudian mati. Maka dari itu jika suatu kebudayaan tidak lagi tumbuh, maka ia dianggap mati. Dalam kasus Yunani, sesudah berakhirnya zaman kuno oleh Aristotle (384-322 BC) atau yang paling akhir Plotinus ( 204-270), di sana tidak ada lagi perkembangan yang berarti, khususnya dalam bidang filsafat dan sains. Dari periode ini hingga abad ke 6 atau 8 M, Barat melalui zaman yang disebut Zaman Kegelapan (Dark Ages), yang berarti keberlangsungannya terputus. Disinilah mungkin alasannya mengapa beberapa sejarawan Barat menolak Yunani sebagai tempat kelahiran Kebudayaan Barat. Sebab sesudah berakhirnya Zaman Kegelapan, Barat memulai periode perkembangannya yang baru sebagai persiapan menuju kebangkitan. Zaman baru yang kemudian disebut dengan Abad Pertengahan (Middle Ages atau Medieval) dianggap sebagai permulaan kebudayaan Barat. Bagi Holmes peradaban Barat tercipta pada periode ini.

Namun karena terdapat kontroversi dikalangan sejarawan tentang waktu yang pasti kapan persisnya Zaman Kegalapan bermula, maka waktu yang pasti kapan Zaman Pertengahan dimulai juga masih diperdebatkan. Martin menganggap Abad Pertengahan bermula dari tahun 800 M, pada masa Cherlemagne atau tahun 1000 M, ketika serangan terhadap kebudayaan Eropah Barat berakhir.  John Marenbon menganggap tahun 1000 atau abad ke 11 sebagai permulaan Zaman Pertengahan periode akhir, tapi awalnya bermula dari tahun 480 M yang ditandai oleh datangnya Boethius. Upaya untuk menetapkan permulaan Zaman Pertengahan sebelum abad ke 8, nampaknya hanyalah untuk mencari hubungan Barat dengan masyarakat Kristen. Tapi sebenarnya sebelum Abad ke 6 atau yang agak akhir abad ke 8, Barat belum mulai bangkit. Itulah sebabnya abad ini disebut Abad Kegelapan.

Pada periode ini, khususnya, di awal abad ke 6, Kristen telah menyebar keluar dari tanah kelahirannya Palestina ke Eropah, Mesopotamia, Armenia, Caucasus, Nubia dan Abyssinia. Namun di daerah-daerah dimana Kristen tersebar tidak ada bukti kuat akan adanya prestasi intelektual, yaitu dalam bidang filsafat dan sains. Meskipun waktu itu, yakni abad 3 dan 5 M, banyak cendekiawan Kristen yang menguasai filsafat Yunani, tapi filsafat Yunani hanya diserap kedalam diskursus teologi saja. Maka dari itu apa yang dianggap filsafat pada masa itu, menurut Marenbon bukanlah filsafat, tapi teologi. Itulah sebabnya kontribusi para paderi Kristen terhadap perkembangan filsafat pada awal Abad Pertengahan di Barat, dianggap sangat minim.  Alasannya jelas, bahwa pemikiran spekulatif Yunani pada masa itu tidak banyak yang diterjemahkan. Maka dari itu menetapkan waktu awal kebangkitan kebudayaan Barat pada abad ke 6 adalah tidak relevan. Jika Abad Pertengahan dianggap sebagai akar kebangkitan Barat, maka semestinya pada abad ini terdapat segala sesuatu bagi persiapan kebangkitan Barat. Tapi menurut Willian R Cook et al., dalam bukunya The Medieval Worldview, Yunani kuno masih tetap dianggap sebagai  ldquo; inventor & rdquo ; terbesar bagi kebudayaan Barat dibanding yang lain. Aspek-aspek seni dan sastra, penulisan sejarah, demokrasi, cabang-cabang filsafat termasuk filsafat politik, etika dan ilmu-ilmu yang sekarang dikelompokkan sebagai ilmu-ilmu alam (natrual sciences) berasal dari Yunani. Tapi dari itu semua warisan Yunani terpenting yang disumbangkan kepada Abad Pertengahan adalah pemikiran dua filosof besar Plato dan Aristotle.

Sejarawan David Knowles dalam The Evolution of Medieval Thought bahkan menyatakan bahwa hampir semua pemikiran filsafat Abad Pertengahan yang paling utama diambil dari pemikiran Athena antara tahun 450-300 SM, maksudnya dari pemikiran Plato. Menurut William, semua pemikiran Aristotle tidak ada yang dibuang pada Abad Pertengahan. Bahkan kompilasi undang-undang gereja abad ke 12 dan digunakan pada abadabad berikutnya disusun berdasarkan prinsip-prinsip logika Aristotle. Sintesis teologi Thomas Aquinas yang terkenal yaitu Summa Theologiae tersusun berkat logika Aristotle. Tapi masalahnya, baik pemikiran Plato maupun Aristotle tidak diketahui masyarakat barat Abad Pertengahan secara langsung. Terjemahan Boethius terhadap sebagian karya logika Aristotle tahun 500 M, pun tidak diketahui oleh masyarakat Eropah Barat dari abad ke 8 hingga abad ke 12.

William menggambarkan bahwa akar Abad Pertengahan adalah percampuran antara Yahudi-Kristen dan Yunani- Romawi yang terjadi dizaman kekaisaran Romawi. Namun, Romawi tidak betahan lama dan digantikan oleh kultur Kristen-Latin, meskipun tanpa dukungan institusi yang kuat. Tak lama kemudian kebudayaan Jerman dan Celtic, khususnya Irlandia masuk dan mempengaruhi pandangan hidup Barat. Periode ini menurut William sangat penting bagi perkembangan kebudayaan Barat. Disini persoalan dari mana Barat Abad Pertengahan belajar pemikiran Plato dan Aristotle masih kabur dalam sejarah Barat. Yang pasti Barat Abad Pertengahan telah berhasil keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan mengembangkan suatu pandangan hidup baru (new worldview) yang mengantarkan mereka kepada abad Pencerahan. Dalam masalah ini Alparslan berkomentar & ldquo ; if the West did not develop a new worldview in the Middle Age, they would not be able to come out of the Dark Ages and as a result no adequate environment for scientific progress would have been possible within that civilization” Hanya pertanyaannya, darimanakah Barat Abad Pertengahan memperoleh pandangan hidup baru itu?

Dari Pandangan Hidup Islam

Jawaban dari pertanyaan diatas tidak lain hanyalah faktor Islam. Faktor yang tidak banyak diperhitungkan oleh sejarawan Barat. Kebangkitan Islam dengan pandangan hidup yang baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengalami penyebaran yang cepat dibawah kekhalifahan bani Umayyah, dan kemudian Abbasiyah dari abad ke 6 hingga 15 M.

Pada zaman inilah Abad Kegelapan dan Abad Pertengahan Barat berada, dan Kristen pada masa itu tersebar dipinggiran dunia Islam. Pandangan hidup Islam secara perlahan-lahan termanifestasikan kedalam kegiatankegiatan intelektual dan keilmuan. Sebagai hasilnya, dapat disaksikan ketika Muslim menaklukkan dan menguasai Spanyol dan daerah lain seperti Levant. Kawasan ini kemudian menjadi daerah yang paling cerah dan menjadi kehidupan kultural yang paling dinamis dalam peta kebudayaan Kristen di Barat.. Dizaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Hampir semua karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslilm untuk proses asimilasi.  Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketka peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Disitu sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam.  Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpullan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, skop dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam.  Sebab pemikiran Yunani, menjadi tidak dominan setelah proses transmisi. Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani dan mengharmonisasikannya dengan Islam keimbang masyarakat Barat Abad Pertengahan, sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya.

Berbeda dari Muslim, masyarakat Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharomiskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Jika pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture. Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropah Abad Pertengahan, tapi juga imaginasinya.  Maksudnya kuriositas orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya terjadi.Dari perspektif teori terbentuknya pandangan hidup kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu.

Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau tourisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling berperadaban di Eropah, dan karena itu orang Eropah berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropah. Keempat, dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monsatri Eropah, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memmiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan rajaraja Eropah mendirikan sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan perpustakaan bekas jajahan Muslim itu. Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut diatas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba, sekurangkurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat muncul sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 12 M, disaat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan diantaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistimatisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang di duga para orientalis, tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains, sehingga hasilnya sains dalam Islam, dalam bahasa Willian McNeil "went beyond anything known to these ancient preceptors".

Sesudah melalui sejarah yang panjang proses transformasi dan penyerapan peradaban Islam ke dalam kebudayaan Barat, para ilmuwan Barat, dibawah kepemimpinan para pendeta Kristen, mulai mengembangkan filsafat dan sain mereka. Oleh sebab itu perkembangan Eropah Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke 13 intinya adalah kombinasi elemen yang sering dinamakan Greco-Arabic-Latin. Selanjutnya, pada akhir abad ini kerajaan Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol. Dan dengan berakhirnya abad ke 15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat. Fakta-fakta sejarah dan framework para sejarawan dalam memahami fakta-fakta tersebut dapat diuji dengan merujuk kepada teori lahirnya pandangan hidup. Pembentukan suatu pandangan hidup dalam pikiran kita terjadi melalui kultur, teknologi, pemikiran keilmuan, keagamaan dan spekulasi yang diperoleh dari pendidikan atau upaya sadar dalam mencari ilmu. Jadi pandangan hidup diperoleh melalui proses alami, pendidikan dan masyarakat, serta agama. Setelah suatu pandangan hidup terbentuk, masyarakat dapat mengatur kehidupan mereka berdasarkan pada pandangan hidup, dimana ide, kepercayaan dan konsep-konsep membentuk suatu jalinan konsep yang saling berhubungan atau architectonic network, untuk meminjam istilah Kant.

Ketika bangunan konsep dalam suatu pandangan hidup telah terbentuk maka adapsi, tansmisi dan transformasi konsep-konsep asing adalah sesuatu yang tidak lagi masalah. Tapi dalam kasus kebudayaan Barat, transmisi konsep-konsep asing melalui penterjemahan pada abad ke 5, atau awal Abad Pertengahan, seperti dinyatakan Marenbon, masih sangat sedikit. Ini terjadi karena bangunan konsep dalam pandangan hidup Barat belum terbentuk. Orang-orang Krsiten tidak berani menterjemahkan dan mensintesiskan pemikiran Yunani dengan dengan doktrin Kristen. Pernyataan Peter sangat jelas, bahwa orang Kristen tidak dapat menyempurnakan penterjemahan Organon Aristotle khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Mereka tidak mampu menyerap kecanggihan pemikiran Yunani karena tidak adanya mekanisme yang canggih untuk memproduksi konsep-konsep keilmuan yang terstruktur 'scientific conceptual scheme' dalam pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa struktur konsep keilmuan di Barat lahir segera setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang canggih. Jadi ketika peradaban Islam memimpin dunia sejak abad ke 7 M hingga abad ke 15 M Barat tidak hanya mentransfer pemikiran Yunani dari Arab ke Latin, tapi juga menyerap mekanisme intelektual mereka yang canggih.

Temuan Jayyusi tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek dari peradaban Islam, merupakan bukti yang memadahi bahwa sebenarnya mereka waktu itu sedang mengembangkan struktur konsep keilmuan dalam pandangan hidup mereka. Setelah mereka mengembangkan pandangan hidup mereka, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir menerjemahkan teks-teks Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang telah disintesakan atau dimodifikasi oleh orang-orang Muslim.

Jadi lahirnya filsafat dan sains di Barat bukan hanya karena jasa terjemahan dari Yunani ke dalam Islam atau Islam ke Latin, tapi juga karena adanya transmisi pandangan hidup Islam yang memilik struktur konsep keilmuan yang canggih kedalam pemikiran orang Barat.


Penutup

Dari uraian di atas maka akar kebudayaan Barat bervariasi dan diantara akarnya yang mendorong munculnya abad Pencerahan adalah pandangan hidup Islam. Untuk menggaris bawahi kajian diatas pernyataan al-Attas yang sangat tepat dan penting untuk dikutip adalah bahwa kebudayaan Barat: …..berkembang dari fusi kultur, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi; dicampur dengan Yahudi dan Kristen, yang kemudian dikembangkan dan dibentuk oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordic. Dari Yunani diambil elemen filsafat dan epistemologi, dasar-dasar pendidikan, etika dan estetika; dari Romawi diambil elemen hukumnya, ketata-negaraan dan pemerintahannya; dari Yahudi dan Kristen diambil elemen kepercayaannya dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordic diambil jiwa independen, nasionalisme dan nilai-nilai tradisionalnya. Pengembangan ilmu-ilmu alam dan fisika serta teknologi, yang dilakukan bersama orang-orang Slavia telah mendorong mereka mencapai puncak kekuasaan. Islam juga memberi sumbangan sangat penting kepada kebudayaan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan dalam menanamkan semangat rasional dan keilmuan. Namun ilmu pengetahuan dan juga semangat rasional dan keilmuan itu telah dibentuk ulang agar sejalan dengan kultur Barat, sehingga semuanya menyatu dan bercampur dengan elemen-elemen lain yang membentuk ciri-ciri dan wajah kebudayaan Barat. Poin penting yang perlu dicatat adalah bahwa diantara akar kebudayaan Barat adalah ilmu pengetahuan, semangat rasional dan keilmuan yang disumbangkan Islam, dan itu semua merupakan elemen terpenting yang merupakan produk pandangan hidup Islam. Namun, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa karena Barat mengambil dari Islam, maka Muslim sekarang dapat mengambil segala sesuatu dari Barat. Sebab, seperti dinyatakan oleh al-Attas, konsep-konsep Islam yang diambil Barat telah dimodifikasi sehingga nilainilai Islam tidak dapat lagi dikenali, yang nampak menonjol adalah wajah kebudayaan Barat. Proses yang sama juga terjadi ketika Islam sebagai peradaban yang memiliki konsep-konsep yang kuat, konsep-konsep pinjaman dari kebudayaan asing dimodifikasi dan ditransmisikan kedalam lingkungan konsep Islam dan hasilnya adalah konsepkonsep yang berwajah Islam. Proses itu perlu kini perlu dilakukan kembali agar konsep-konsep asing menjadi tuan rumah dalam peradaban Islam yang agung ini.

Langkah awal cara bermain alat musik Organ

Yame Yoedhy
Divisi Musik LSBO Khalifah

Ada enam tahapan untuk dapat mempelajari cara awal bermain musik organ dengan baik yang kesemua tahapan itu memang sangat berkaitan satu sama lainnya :

Tahap yang pertama mengenai pengenalan tentang kunci kunci nada dari nada yang mayor sampai yang minor.seperti contoh : kunci nada C , Dm , Em , F , G , Am , dst...keterangan : apabila tertulis C disebut sebagai kunci nada C mayor , kalau tertulis Cm disebut C minor.dst.daftar kunci nada organ bisa dibeli di toko buku Gramedia .

Tahap kedua pengenalan tentang cara pengoperasikan organ dan pengenalan jenisi jenis musik dan suara yang ada di organ tersebut, ini bisa dilihat dari buku katalog atau buku panduan dari organ tersebut.

Tahap ketiga belajar cara meletakan jari tangan kiri dan kanan didalam membunyikan kunci kunci nada dari sebuah lagu yang akan dipelajari..setiap kunci nada rata rata memerlukan tiga jari tangan untuk memijitnya , namun ada juga terkadang memerlukan lebih dari tiga jari itupun tergantung dari jenis nama kunci nada tersebut . seperti misalnya kunci nada CM7 ( C mayor tujuh ) ini tidak bisa dipijit dengan tiga jari , tapi kunci ini memerlukan empat jari untuk membunyikannya.

Tahap ke empat menghilangkan kekakuan jari jari tangan dengan cara latihan memindahkan dari satu kunci nada ( chord ) ke kunci nada yang lainnya secara rutin minimum dalam sehari yaitu 30 menit, sbg contoh : dari kunci nada C pindah ke nada Dm -> Em -> F -> G -> Am -> kembali ke nada C dsb

Tahap ke lima carilah lagu yang sudah hapal , kemudian putarlah di CD/kaset untukdidengarkan jenis musiknya, kalau sudah denger dan paham jenis musik yang didengar dari CD / kaset tadi barulah dicari jenis musiknya yang hampir sama atau mendekati , cara mencari kesamaannya lihat ketukan pada alat musik drumnya .

Tahap ke enam setelah jenis musiknya didapat .lakukan setiap lagu diawali dengan kunci nada C untuk lagu yang jenis nya mayor , untuk yang jenis lagunya minor diawali dengan kunci nada Am..hal ini untuk mempermudah mempelajari sebuah lagu.. contoh lagu : ANGIN MALAM diawali dengan kunci nada C , tapi kalau lagu dengan nada dasar minor tidak bisa diawali dengan kunci nada mayor.. contoh lagu : KASIH yang dibawakan oleh penyanyi Ermy kulit tidak bisa diawali dengan kunci nada C mayor, akan tetepi lagu tersebut bisanya diawali oleh kunci nada minor seprti : Am , Bm , Cm , Dm , Em dst

Cangkir Yang Cantik



Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu,” kata si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si kakak.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terimakasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanya seonggok tanah liat yang. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop…! Stop…! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “Belum…!” lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop…! Stop…! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas…! Panas…! Teriakku dengan keras. Stop…! Cukup…! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum…!”

Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop…! Stop…! Aku berteriak.

Wanita itu berkata “Belum…!” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya.! Tolong…! Hentikan penyiksaan ini…! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku. ia terus membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin.

Tehnik Dasar Bermain Piano/Keyboard

Bagian 1

Mr. Noval L
Dewan Guru Divisi Musik LSBO Khalifah


Mohon maaf kepada teman2 dengan segala kerendahan hati saya mencoba berbagi informasi bagaimana sih cara belajar piano/keyboard?  Berikut ada beberapa tips mengenai tehnik dasar untuk belajar main piano/keyboard:

FINGERING (hand and finger forms, relaxation of arms & shoulders)
Latihan untuk fingering ini, ditujukan untuk supaya, kita sebagai musisi, khususnya pemain piano atau keyboard, posisi jari dan tangan kita saat bermain ada dalam posisi yang benar. Juga untuk bentuk jari-jari kita saat bermain di atas tuts piano atau keyboard ada dalam posisi sempurna. Latihan jari ini mencakup Tangga Nada dan Cadence.

TOUCHING (touch of the notes, legato-staccato, phrasing, dynamics and expression)

Latihan untuk touching ini ditujukan untuk supaya, kita sebagai musisi, khususnya pemain piano atau keyboard. Kita mengerti interpretasi kita dalam bermain music. Gak cuman yang sekedar bermain music, tapi music itu yang harus keluar dari hati kita. Kita mengetahui dimana kita harus bisa maen keras atau lembut. Bermain dengan ada tekanan atau nyambung atau putus-putus dan atau dengan aksen yang tepat. Ada dinamika, feeling dan ekspresi.


RHYTHM dan TEMPO
Latihan untuk rhythm and tempo ini ditujukan untuk supaya, kita sebagai musisi, ini mencakup untuk semua instrument. Baik sebagai pemain drums, bass, guitar, percussions atau juga piano dan keyboard. Kita perlu mengetahui harga notes, ketukan & rhythm pattern. Kita perlu tau juga tentang tempo yang benar.

Rhytmic dalam bermain music (comping). Ada soul atau groove dalam bermusic. Harus ada “nyawa” dalam kita bermain dalam 1 band. Kita harus tau juga tentang TIME SIGNATURE (lagu itu dimainkan dalam ketukan 2/4, ¾, 4/4, 3/8, 6/8 etc)

HARMONY (chords progression, voicing and accompaniment)
Latihan untuk harmony ini ditujukan untuk supaya kita bisa lebih kaya dalam mengembangkan pola chords yang kita pakai dalam sebuah lagu. Mengembangkan juga bunyi yang dihasilkan dari chords yang kita mainkan.

Dan juga untuk memperluas cara kita bermain dalam konteks kita mengiringi seorang penyanyi atau jemaat. Karena dengan kita bermain dalam harmonisasi yang bagus, maka akan tercipta suatu kesatuan yang baik. Dengan mempunyai pengetahuan harmoni yang baik, kita dapat membuat aransemen yang pasti bisa lebih enak. Mengetahui posisi kita sebagai musisi, lebih sebagai pengiring!

READING
Latihan ini lebih ditujukan untuk mereka yang belum bisa membaca not balok atau combo partitur. Diharapkan mereka di kemudian harinya bisa untuk membaca partitur not balok atau combo part. Mereka mengenal Treble Clef (kunci G) dan Bass Clef (kunci F). Mereka mengetahui tentang KEY SIGNATURE (ada berapa sharp (#) atau flat (b) lagu itu dimainkan). Dengan kita melihat tanda-tanda tersebut dengan sendirinya kita sudah tau kalau lagu itu dimainkan di tangga nada apa. Jelas itu akan sangat mempermudah kita dalam bermusik.


Sabtu, 15 September 2012

MENGENAL FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE : ANTARA BANKING CONCEPT OF EDUCATION, PROBLEM POSING METHOD,DAN PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA

Oleh :


PENDAHULUAN

Paulo Freire adalah salah seorang dari sembilan pendidik Kristen — baik dari kalangan Protestan maupun Katolik— yang dianggap paling berpengaruh di abad ke-20 ini. Berbeda dengan delapan pendidik lain yang kebanyakan lahir dan berkarya di negara maju, Freire dilahirkan dan berkarya, dalam sebagian besar hidupnya, di dunia ketiga. Latar belakang sosial budaya dari pemikiran Freire yang tidak terlalu berbeda jauh dengan kondisi Indonesia inilah yang menjadi salah satu alasan utama untuk mengenal dan mencoba menggali relevansi pemikirannya bagi pendidikan di Indonesia pada umumnya, dan secara khusus untuk pendidikan Kristen di Indonesia.

Tulisan ini akan mencoba memperkenalkan filsafat pendidikan Freire. Untuk itu akan dipaparkan latar belakang kehidupannya dan pandangannya tentang pendidikan. Penulis akan memaparkan secara garis besar alur pemikiran pendidikan Freire untuk menampilkan “gambar besar” bagi pembaca yang belum terlalu mengenalnya. Selanjutnya, secara khusus penulis akan menyoroti dikotomi antara “Banking Concept of Education” dan “Problem Posing Method” yang tampaknya menjadi salah satu pemikirannya yang khas. Berikutnya, penulis akan mencoba berdialog secara kritis dengan pemikiran Freire untuk melihat kemungkinan-kemungkinan sumbangsihnya yang aplikatif dan kontekstual untuk pendidikan Kristen di Indonesia.

SIAPAKAH PAULO FREIRE?

Freire dilahirkan di Recife, Brasil pada 19 September 1921. Ia berasal dari keluarga kelas menengah yang oleh karena keadaan ekonomi nasional yang buruk saat itu, membuatnya juga merasakan apa artinya kekurangan dan kelaparan. Ia mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang pengacara. Kemudian ia menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947). Sekitar tahun 1944 ia menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan, sebagaimana diakuinya sendiri, “. . . precisely after my marriage when I started to have a systematic interest in educational problems.” Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). 

Di kemudian hari, ia bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, ia menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer. Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Ia memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia ia pindah ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. 

Dalam masa lima tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 ia sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, ia pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an inilah ia menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed. Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 ia ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada. Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO’s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian Educator, pada tahun 1985. 

Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru. Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan; Belajar Bertanya; Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan; Pendidikan Kaum Tertindas; Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan; Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik; dan Pendidikan Sebagai Proses: Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau.

FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE

Secara filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme. Keyakinan utama seorang Rekonstruksionis ialah, “. . . hold the goal of building an ideal and just social order. Efforts are directed toward establishment of a practical utopia where persons are liberated to be and become all intended to be.”George R. Knight mendaftarkan beberapa prinsip utama dari Rekonstruksionisme,9 yang intinya adalah: pertama, peradaban dunia sedang berada dalam krisis di mana solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan sosial yang menyeluruh. Kedua, pendidikan adalah salah satu agen utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial. Oleh karenanya, seorang pendidik Rekonstruksionis harus secara aktif mendidik demi perubahan sosial. Ketiga, metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada. Dari ketiga prinsip ini dapat diketahui bahwa di dalam Rekonstruksionisme peranan pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif —sebagaimana diyakini oleh aliran-aliran yang lebih tradisional— tetapi sebagai agen yang menjadi pionir yang aktif dalam melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam pemikiran Freire.

Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita ketertindasannya ini ia sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik. Lebih lanjut, Daniel Schipani menjelaskan bahwa konsientasi dalam pemahaman Freire adalah : . . . denotes an integrated process of liberative learning and teaching as well as personal and societal transformation. Conscientization thus names the process of emerging critical consciousness whereby people become aware of the historical forces that shape their lives as well as their potential for freedom and creativity; the term also connotes the actual movement toward liberation and human emergence in persons, communities, and societies.

Konsientasi bertujuan untuk “membongkar” apa yang disebut oleh Freire sebagai “kebudayaan diam.” “Kebudayaan diam” adalah suatu kondisi di mana masyarakat dibuat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga masyarakat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung menerima keberadaan itu secara fatalistis. Dalam kerangka pemikiran seperti di atas tidak mengherankan bahwa bagi Freire, pendidikan senantiasa merupakan tindakan politik, baik untuk mempertahankan status quo ataupun untuk menciptakan perubahan sosial. Menurutnya, kedua  kecenderungan tersebut terlihat dengan jelas melalui pengamatan yang seksama terhadap metode belajar mengajar di dalam kelas. Mereka yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, melakukannya di dalam kelas dengan menggunakan metode pendidikan yang ia sebut sebagai “banking concept of education.” Sedangkan mereka yang meyakini bahwa pendidikan adalah praksis pembebasan, menurut Freire, akan menggunakan apa yang disebutnya sebagai “problem posing method.”

BANKING CONCEPT OF EDUCATION

Freire mengecam metode belajar mengajar yang sering dijumpainya di dalam kelas-kelas yang ia sebut sebagai “banking concept of education” (BCE). BCE inilah yang menurutnya telah menjadi alat untuk “menindas” kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Secara mendasar apa yang terjadi pada BCE adalah, “Education thus become an act of depositing, in which the students are depositories and the teacher is the depositor.”11 Menurut Freire, BCE secara fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek (guru) berbicara dan objek (murid) mendengarkan dengan sabar dan seksama. Metode belajar mengajar yang secara umum digunakan inilah yang menurutnya tidak sehat dan “menindas,” karena melalui metode ini yang terjadi adalah, “Education is suffering from narration sickness.” Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi —yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE. Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya.

Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.

PROBLEM POSING METHOD

Sebagai lawan dari BCE, Freire memperkenalkan apa yang disebutnya “Problem Posing Method” (PPM), yaitu metode pendidikan yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan realitas. PPM didasarkan atas asumsi, “. . . adopting . . . a concept of men as a conscious beings and consciousness as consciousness intent upon the world.”14 Bukan hanya itu, tetapi juga, “. . . affirms men as beings in the process of becoming—as unfinished, uncompleted beings in and with a likewise unfinished reality.” Implementasi dari asumsi-asumsi ini terlihat dalam pola interaksi yang diharapkan terjadi di dalam kelas. Menurut Freire, hubungan yang ideal antara guru dan murid bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam BCE, tetapi merupakan hubungan dialogikal. Melalui hubungan yang bersifat dialogikal, “. . . the teacher-of-the-students and the students-of the teacher cease to exist and a new term emerges: teacher student with students-teachers.”16 Jadi, guru bukan hanya semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi juga sosok yang diajar dalam proses dialog dengan murid ; sementara murid bukan hanya diajar, tetapi pada saat yang sama juga mengajar. Murid bukan hanya pendengar yang semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang kritis dalam dialog bersama guru. Guru bertugas mengedepankan suatu materi di hadapan murid-muridnya untuk meminta pertimbangan mereka tentang materi tersebut. Guru mempertimbangkan ulang materi ketika murid-murid mengekspresikan perspektif mereka tentang materi tersebut.

Hasil yang diharapkan dari PPM adalah, “Students, as they are increasingly posed with problems relating to themselves in the world and with the world, will feel increasingly challenged and obliged to response that challenge.” Murid diharapkan tidak demikian saja menerima keberadaannya, tetapi berani untuk secara kritis mempertanyakan keberadaannya, bahkan mengubahnya. PPM dianggap berhasil ketika murid tidak menjadi penghafal informasi, tetapi ketika ia tahu dengan kritis informasi yang dimilikinya, apa kaitan informasi itu dengan dirinya, serta bagaimana memanfaatkannya untuk melakukan suatu perubahan.

TINJAUAN TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE DARI PERSPEKTIF INJILI

Secara mendasar kerangka pemikiran Freire yang bercorak antroposentris berbanding terbalik dengan perspektif Kristen yang bersifat teosentris. Perspektif Kristen yang teosentris melihat bahwa realitas berpusat pada Allah dan bukan pada manusia; pewahyuan bersifat lebih otoritatif daripada pengalaman subjektif manusia; dan nilai dinyatakan oleh Allah sendiri, bukan dipilih oleh manusia.18 Kritik utama terhadap pendidikan yang bercorak humanistik — termasuk di dalamnya, Rekonstruksionisme— dari perspektif Kristen adalah penekanan yang terlalu optimistik terhadap natur dan kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik bagi kemasyarakatan. Perspektif Kristen meyakini bahwa Allah sendirilah yang pada akhirnya dapat dan mampu menciptakan suatu tatanan yang sangat baik mengenai kemasyarakatan. Manusia di dalam kapasitasnya sendiri tidak mungkin dapat menciptakan suatu tatanan sosial, karena di dalam diri manusia terus menerus terjadi pergumulan tiada henti antara natur yang saling bertentangan: natur untuk mengasihi Allah dan juga natur untuk mengikuti kecenderungan berdosa. Bagaimana mungkin manusia, yang di dalam dirinya sendiri pun sering kali mengikuti kecenderungan untuk berdosa, mampu menciptakan suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang penuh keadilan dan kebenaran?

Para pakar pendidikan Kristen Injili, seperti Robert W. Pazmiño, menilai bahwa titik tolak Freire adalah situasi kontekstual dan bukan teks (Alkitab). Akibatnya, dalam pemikiran Freire terdapat beberapa pemikiran khas Kristen yang ia “abaikan” seperti: natur keberdosaan manusia, peranan Roh Kudus dalam diri manusia dan pemberitaan Injil sebagai tugas orang percaya. Mengingat hal-hal tersebut, tidak mengherankan apabila dari perspektif Kristen, menurut Bennie Godwin, “Freire’s theory, epistemology, and axiology are not fully developed.” Menurut pengamat lainnya, berdasarkan salah satu karya Freire yang terakhir, Pedagogy of the Heart, sebenarnya ajaran Kristenlah yang menjadi dasar dalam pemikiran pendidikan Freire. Simak penuturan Clarence Joldersma berikut :

The central role of a Christian faith in Freire’s pedagogy and social critique is certainly born out in one of his last publications, Pedagogy of the Heart (1988). At the end of that work Freire reflects on the Christian vision that has motivated him throughout his life. His overall message of hope for the millions of people that are oppressed around the world has been, in his own mind, unmistakably centered in his own Christian faith.

Memang dalam bukunya yang terakhir Freire banyak merefleksikan tulisan-tulisannya yang terdahulu dari perspektif Kristen. Ia banyak berbicara tentang Tuhan dalam relasinya dengan manusia, sesuatu yang agak tidak biasa di dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Salah satu contoh yang jelas adalah ketika ia menulis, This is how I have always understood God—a presence in history that does not preclude me from making history, but rather push me toward world transformation, which makes it possible to restore humanity of those who exploit and of the weak.

Agaknya perlu ditambahkan sedikit catatan untuk pemikiran Freire tentang BCE dan PPM seperti yang telah dipaparkan di atas. Dari pemaparan di atas tampak kesan yang kuat bahwa secara tegas Freire memilah dan membedakan, bahkan mempertentangkan secara mutlak kedua metode ini. BCE dilihat semata-mata sebagai alat penindasan dan PPM sebagai alat pembebasan. Sebenarnya hubungan antara kedua metode ini dapat dilihat secara lebih dialektis. BCE bukan sama sekali tidak berharga mengingat adanya pendidikan tertentu yang mengharuskan kita menghafal data, teori ataupun pendekatan tertentu yang telah dibangun oleh para ahli terdahulu. Dalam batas-batas tertentu BCE tetap bisa memberikan sumbangsih yang berharga, misalnya : bagaimana seorang murid dapat mengkritik suatu teori tertentu, apabila murid itu sendiri tidak mau mengerti dan memahami (termasuk di dalamnya menghafal) pokok–pokok dari teori tersebut?

SUMBANGSIH PEMIKIRAN FREIRE BAGI PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA

Titik tolak pemikiran Freire yang cenderung lebih bercorak antroposentris memang berbanding terbalik dengan titik tolak pendidikan Kristen yang teosentris. Namun hal ini tidak menutup kenyataan adanya sumbangsih Freire terhadap pendidikan Kristen. Berikut ini adalah sumbangsih pemikirannya bagi pendidikan Kristen. Pertama, filsafat pendidikan Freire berusaha menolak dikotomi antara pengetahuan dan praksis. Menurutnya, kegagalan dalam praksis dapat dikembalikan kepada kegagalan ideologi. Pengetahuan yang tidak sanggup menggerakkan tangan dan kaki untuk bertindak bukanlah pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya dan sepenuhnya. Berbeda dengan corak pendidikan gereja yang cenderung mengasumsikan bahwa orang yang sudah tahu (berpengetahuan) akan secara otomatis bertindak, problem posing method menggunakan praksis sebagai penilai atas kualitas pengetahuan. Sesungguhnya, dikotomi antara pengetahuan dan praksis tidak dapat dipertahankan secara utuh dan penuh.

Dalam pendidikan Kristen yang dilakukan oleh gereja-gereja yang “bernafas” Injili boleh dikatakan masih memberikan tekanan yang cenderung mutlak pada BCE. Guru bertugas hanya menyampaikan suatu ajaran (doktrin denominasinya) tanpa mendialogkan dengan peserta didik bagaimana mengaplikasikan ajaran itu secara real dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, sering kali guru menganggap tugasnya selesai ketika ia telah menyampaikan suatu ajaran, dan sama sekali tidak menunjukkan relevansi pelajaran itu dengan kehidupan sehari-hari. Suasana pengajarannya pun sering kali menjadi satu arah dan cenderung “mematikan” kreativitas berpikir. Hal ini terlihat dari tidak simpatiknya respons terhadap murid yang berani bertanya atau mempertanyakan ajaran tersebut. Sementara itu, sistem evaluasi yang dilakukan cenderung bersifat kognitif, berkisar pada hafalan terhadap ajaran-ajaran dasar seperti Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Tidak mengherankan apabila terdengar pertanyaan-pertanyaan yang terus menjadi “lagu lama” di gereja, seperti, “Ia kan sudah dikatekisasi, kok kelakuannya masih (buruk) seperti itu?” Menjawab pertanyaan seperti itu, para pendidik di gereja pun berdendang, “Semuanya kembali ke setiap pribadi, tugas kami hanya mengajar (baca: menyampaikan informasi).” Para pendidik di gereja sudah seharusnya memikirkan efektivitas kelas-kelas pembinaan yang biasa dilakukan selama ini. Gereja perlu memikirkan kelas-kelas pembinaan yang sifatnya lebih dialogis dalam hubungan antara guru dan murid. Selain itu, kelas-kelas kecil yang interaktif seperti kelompok sel atau kelompok tumbuh bersama nampaknya menjanjikan “atmosfer” yang lebih dialogis dibanding kelaskelas besar. Tentu dengan ditunjang oleh guru yang memang siap untuk berdialog; guru yang siap untuk sekaligus menjadi murid, dan murid yang juga siap untuk secara terbuka membagikan pandangannya. Kedua, filsafat pendidikan Freire berusaha melihat manusia dan kemanusiaannya secara utuh. Terdapat kecenderungan sebagian gereja untuk menilai dan melihat manusia secara parsial, misalnya dengan menggunakan istilah “jiwa yang terhilang.” Dengan demikian, seolaholah manusia hanya memiliki arti di dalam keberadaannya sebagai makhluk rohani yang membutuhkan keselamatan “di sana” saja. Konsekuensinya, tugas pelayanan gereja dianggap selesai ketika manusia sudah mendapatkan kepastian tentang tempatnya “di sana.” Filsafat pendidikan Freire berusaha untuk melihat manusia di dalam pergumulannya di sini dan sekarang. Dengan tidak menafikan kebutuhan manusia akan hal yang di sana dan nanti, pergumulan di sini dan sekarang juga adalah sebuah pergumulan yang perlu secara serius ditanggapi untuk dapat melihat manusia secara utuh.

Untuk dapat menghadapi pergumulan di sini dan sekarang, gereja nampaknya perlu kembali memikirkan ulang dan meng-update bahanbahan pengajarannya. Sebenarnya agak mengherankan apabila ada gereja di abad ke-21 ini yang masih merasa cukup dengan buku pengajaran yang ditulis pada abad ke-18, misalnya Katekismus Heidelberg, tanpa ada usaha sedikit pun untuk membuat bahan tersebut up to date.

Padahal jelas sekali bahwa dari segi waktu saja nampak bahan itu sudah sedemikian tertinggal, belum terhitung dari segi perbedaan latar belakang sosial budaya penulis buku tersebut dan konteks kekinian di Indonesia. Tentu saja materi-materi seperti: kehidupan berdemokrasi, kemiskinan, hak asasi manusia dan ekologi, tidak akan dijumpai di Katekismus Heilderberg, karena memang konteks pergumulannya berbeda. Alihalih melakukan usaha untuk membuat bahan tambahan sebagai pelengkap bahan katekisasinya, gereja cenderung bersifat sakralistik terhadap warisan pengajarannya.

Ketiga, filsafat pendidikan Freire berusaha untuk menempatkan manusia sebagai subjek dan bukan objek di dalam dunia. Pendidikan ini bersifat optimistis terhadap keberadaan manusia sebagai subjek yang mampu bertindak untuk mengubah dunianya. Manusia bukanlah objek dunia sebagaimana diyakini oleh agama yang fatalis, tetapi manusia adalah subjek yang bertindak di dalam dunia. Realita dunia ini bukanlah suatu realita yang harus diterima begitu saja dengan memberikan labellabel keagamaan tertentu, misalnya: dunia menderita akibat dosa, dan manusia juga menderita akibat dari dosa. Realita dunia adalah untuk dihidupi dan diubah menjadi lebih baik. Realita pengaruh dosa terhadap manusia dan kemanusiaan adalah suatu fakta yang harus diperjuangkan untuk diperbaiki dan bukan diterima mentah-mentah begitu saja, atau bahkan “dihindari.” Di dalam sebagian aliran kekristenan nampaknya ada kecenderungan untuk melihat ibadah sebagai sarana untuk “melarikan diri” dari dunia yang ada. Ibadah yang mampu “menggelitik” emosi akan dipadati oleh pengunjung. Jemaat pun akhirnya akan menghadiri ibadah dengan harapan akan mendapatkan “lawatan Allah” entah dalam bentuk-bentuk yang disebut sebagai “tumbang di dalam roh,” “tertawa kudus” ataupun “menari di dalam roh”. Model ibadah seperti ini —yang secara tidak langsung juga merupakan salah satu bentuk pengajaran— tentu saja tidak akan menghasilkan jemaat yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman, tetapi hanya akan menghasilkan orang-orang yang gemar “melarikan diri” dari pergumulan hidup yang nyata di dunia. Herannya, di tengah segala pergumulan yang dihadapi bangsa Indonesia, baik orang Kristen maupun agama lain, masih ada juga gereja yang menuliskan visimisi bergerejanya kurang lebih demikian: mempersiapkan jemaat untuk masuk surga. Betapa tidak relevan dan tidak sensitif.

Gereja nampaknya perlu untuk kembali “membaca,” merenungkan dan bertindak sebagai respons penugasan dari Kepala Gereja ke dalam dirinya. Yesus sang Kepala Gereja mengutus gereja untuk dunia (Yoh. 17:18). Hal ini berarti gereja sudah semestinya ada dan bergumul bersama, bahkan memberikan pengaruh yang baik (garam dan terang) di dalam dunia yang penuh dengan masalah ini. Bukannya menjadi semakin eksklusif dan cenderung “melarikan diri” sebagai akibat dari penekanan yang tidak imbang di dalam pengajarannya.

PENUTUP

Pada akhirnya, tujuan pendidikan Kristen di gereja maupun lembaga lainnya adalah guna mempersiapkan umat Kristen Indonesia untuk menjalani kehidupannya sebagai seorang murid Kristus. Menjadi umat Kristen Indonesia (bukan sekadar di Indonesia) mengimplikasikan adanya suatu tantangan yang khas dan unik yang harus digumuli setiap orang Kristen. Salah satu aspek dari tantangan itu adalah bagaimana mewujudkan suatu partisipasi yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal ini, filsafat pendidikan Freire, seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran berharga yang patut direnungkan. Sebenarnya, apa sih yang akan terjadi seandainya pendidikan di gereja atau lembaga Kristen lainnya gagal atau malah sama sekali tidak berperan dalam “menjadikan” umat Kristen Indonesia berpartisipasi secara nyata di tengah bangsa ini? Untuk menggambarkan apa yang telah dan sedang, serta mungkin akan terjadi, kecemasan Eka Darmaputera berikut ini patut direnungkan : . . . kelumpuhan ini sesungguhnya menyangkut seluruh aspek kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat. Yaitu ketika makna kehadiran kita kian tidak dirasakan, dan suara kita semakin nyaris tak terdengar. Atau kalaupun kehadiran kita itu dirasakan, orang tidak memperdulikannya. Dan kalaupun suara kita terdengar juga, orang tidak merasa perlu mendengarnya. Kehadiran kita semakin dilecehkan dan diremehkan. Kita dibiarkan seperti anjing-anjing menggonggong sementara kafilah terus berjalan. Atau anjing-anjing buduk, yang dikejar-kejar dan dilempar-lempar —just for fun. Amat menyakitkan

1. James E. Reed dan Ronnie Prevost, A History of Christian Education (Nashville:Broadman & Holman, 1993) 350-360. Freire sendiri adalah penganut agama Katolik, namanya disejajarkan dengan: Findley B. Edge, D. Campbell Wyckoff, Sara Little,James Michael Lee, John H. Westerhoff III, Gabriel Moran, James Fowler dan Thomas G. Groome. Groome bahkan secara terang-terangan mengakui pengaruh Freire yang sangat kuat di dalam dirinya.

2 . Pemaparan bagian ini disarikan dari beberapa artikel: “People You Should Know:Freire,” [http://nlu.nl.edu/ace/Resources/Freire.html]; Bentley Leslie, “A Brief Biography,” [http://www.unomaha.edu/~pto/paulo.htm], Moachir Gadotti dan Carlos Alberto Torres,” Paulo Freire: A Homage,” [http://nlu.nl.edu/ace/Homage.html].

3. Sebagaimana dikutip dalam “1. Who is Paulo Freire?” [http://www.nlu.nl.edu/ace/resources/ documents/section1.html].

4. Freire menulis dalam bahasa Portugis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970). Untuk tulisan ini penulis mengambil terbitan Seabury cetakan ke-12, tanpa tahun. Ada perbedaan penomoran halaman antara terbitan Continuum dan Seabury; edisi bahasa Indonesianya diberi judul Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1985).

5. Salah satu pengantar ringkas terbaik untuk memahami pemikiran dan istilahistilah yang sering digunakan oleh Freire adalah tulisan Tom Heaney, ”Issues in Freirean Pedagogy,” [http://nlu.nl.edu/ace/Resources/Documents/FreireIssues.html].

6. Robert W. Pazmiño, Foundational Issues in Christian Education: An Introductionin Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker, 1988) 68.

7. Ozmon & Craver, Philosophical Foundations of Educations (Colombus: Merril,1986) 135-163.

8. Pazmiño, Foundational Issues 109.

9. George R. Knight, Philosophy of Education (Michigan: Andrew University Press, 1989) 116-119.

10. Daniel Schipani, “Liberation Theology and Religious Education” dalam Theologies of Religious Education (ed. Randolph Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996) 307-308.

MOHON MAAF KEPADA PARA PENGUNJUNG BLOG LSBO KHALIFAH DALAM PROSES PERBAIKAN.........