Sabtu, 15 September 2012

MENGENAL FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE : ANTARA BANKING CONCEPT OF EDUCATION, PROBLEM POSING METHOD,DAN PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA

Oleh :


PENDAHULUAN

Paulo Freire adalah salah seorang dari sembilan pendidik Kristen — baik dari kalangan Protestan maupun Katolik— yang dianggap paling berpengaruh di abad ke-20 ini. Berbeda dengan delapan pendidik lain yang kebanyakan lahir dan berkarya di negara maju, Freire dilahirkan dan berkarya, dalam sebagian besar hidupnya, di dunia ketiga. Latar belakang sosial budaya dari pemikiran Freire yang tidak terlalu berbeda jauh dengan kondisi Indonesia inilah yang menjadi salah satu alasan utama untuk mengenal dan mencoba menggali relevansi pemikirannya bagi pendidikan di Indonesia pada umumnya, dan secara khusus untuk pendidikan Kristen di Indonesia.

Tulisan ini akan mencoba memperkenalkan filsafat pendidikan Freire. Untuk itu akan dipaparkan latar belakang kehidupannya dan pandangannya tentang pendidikan. Penulis akan memaparkan secara garis besar alur pemikiran pendidikan Freire untuk menampilkan “gambar besar” bagi pembaca yang belum terlalu mengenalnya. Selanjutnya, secara khusus penulis akan menyoroti dikotomi antara “Banking Concept of Education” dan “Problem Posing Method” yang tampaknya menjadi salah satu pemikirannya yang khas. Berikutnya, penulis akan mencoba berdialog secara kritis dengan pemikiran Freire untuk melihat kemungkinan-kemungkinan sumbangsihnya yang aplikatif dan kontekstual untuk pendidikan Kristen di Indonesia.

SIAPAKAH PAULO FREIRE?

Freire dilahirkan di Recife, Brasil pada 19 September 1921. Ia berasal dari keluarga kelas menengah yang oleh karena keadaan ekonomi nasional yang buruk saat itu, membuatnya juga merasakan apa artinya kekurangan dan kelaparan. Ia mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang pengacara. Kemudian ia menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947). Sekitar tahun 1944 ia menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan, sebagaimana diakuinya sendiri, “. . . precisely after my marriage when I started to have a systematic interest in educational problems.” Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). 

Di kemudian hari, ia bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, ia menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer. Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Ia memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia ia pindah ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. 

Dalam masa lima tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 ia sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, ia pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an inilah ia menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed. Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 ia ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada. Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO’s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian Educator, pada tahun 1985. 

Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru. Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan; Belajar Bertanya; Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan; Pendidikan Kaum Tertindas; Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan; Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik; dan Pendidikan Sebagai Proses: Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau.

FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE

Secara filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme. Keyakinan utama seorang Rekonstruksionis ialah, “. . . hold the goal of building an ideal and just social order. Efforts are directed toward establishment of a practical utopia where persons are liberated to be and become all intended to be.”George R. Knight mendaftarkan beberapa prinsip utama dari Rekonstruksionisme,9 yang intinya adalah: pertama, peradaban dunia sedang berada dalam krisis di mana solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan sosial yang menyeluruh. Kedua, pendidikan adalah salah satu agen utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial. Oleh karenanya, seorang pendidik Rekonstruksionis harus secara aktif mendidik demi perubahan sosial. Ketiga, metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada. Dari ketiga prinsip ini dapat diketahui bahwa di dalam Rekonstruksionisme peranan pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif —sebagaimana diyakini oleh aliran-aliran yang lebih tradisional— tetapi sebagai agen yang menjadi pionir yang aktif dalam melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam pemikiran Freire.

Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita ketertindasannya ini ia sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik. Lebih lanjut, Daniel Schipani menjelaskan bahwa konsientasi dalam pemahaman Freire adalah : . . . denotes an integrated process of liberative learning and teaching as well as personal and societal transformation. Conscientization thus names the process of emerging critical consciousness whereby people become aware of the historical forces that shape their lives as well as their potential for freedom and creativity; the term also connotes the actual movement toward liberation and human emergence in persons, communities, and societies.

Konsientasi bertujuan untuk “membongkar” apa yang disebut oleh Freire sebagai “kebudayaan diam.” “Kebudayaan diam” adalah suatu kondisi di mana masyarakat dibuat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga masyarakat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung menerima keberadaan itu secara fatalistis. Dalam kerangka pemikiran seperti di atas tidak mengherankan bahwa bagi Freire, pendidikan senantiasa merupakan tindakan politik, baik untuk mempertahankan status quo ataupun untuk menciptakan perubahan sosial. Menurutnya, kedua  kecenderungan tersebut terlihat dengan jelas melalui pengamatan yang seksama terhadap metode belajar mengajar di dalam kelas. Mereka yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, melakukannya di dalam kelas dengan menggunakan metode pendidikan yang ia sebut sebagai “banking concept of education.” Sedangkan mereka yang meyakini bahwa pendidikan adalah praksis pembebasan, menurut Freire, akan menggunakan apa yang disebutnya sebagai “problem posing method.”

BANKING CONCEPT OF EDUCATION

Freire mengecam metode belajar mengajar yang sering dijumpainya di dalam kelas-kelas yang ia sebut sebagai “banking concept of education” (BCE). BCE inilah yang menurutnya telah menjadi alat untuk “menindas” kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Secara mendasar apa yang terjadi pada BCE adalah, “Education thus become an act of depositing, in which the students are depositories and the teacher is the depositor.”11 Menurut Freire, BCE secara fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek (guru) berbicara dan objek (murid) mendengarkan dengan sabar dan seksama. Metode belajar mengajar yang secara umum digunakan inilah yang menurutnya tidak sehat dan “menindas,” karena melalui metode ini yang terjadi adalah, “Education is suffering from narration sickness.” Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi —yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE. Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya.

Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.

PROBLEM POSING METHOD

Sebagai lawan dari BCE, Freire memperkenalkan apa yang disebutnya “Problem Posing Method” (PPM), yaitu metode pendidikan yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan realitas. PPM didasarkan atas asumsi, “. . . adopting . . . a concept of men as a conscious beings and consciousness as consciousness intent upon the world.”14 Bukan hanya itu, tetapi juga, “. . . affirms men as beings in the process of becoming—as unfinished, uncompleted beings in and with a likewise unfinished reality.” Implementasi dari asumsi-asumsi ini terlihat dalam pola interaksi yang diharapkan terjadi di dalam kelas. Menurut Freire, hubungan yang ideal antara guru dan murid bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam BCE, tetapi merupakan hubungan dialogikal. Melalui hubungan yang bersifat dialogikal, “. . . the teacher-of-the-students and the students-of the teacher cease to exist and a new term emerges: teacher student with students-teachers.”16 Jadi, guru bukan hanya semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi juga sosok yang diajar dalam proses dialog dengan murid ; sementara murid bukan hanya diajar, tetapi pada saat yang sama juga mengajar. Murid bukan hanya pendengar yang semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang kritis dalam dialog bersama guru. Guru bertugas mengedepankan suatu materi di hadapan murid-muridnya untuk meminta pertimbangan mereka tentang materi tersebut. Guru mempertimbangkan ulang materi ketika murid-murid mengekspresikan perspektif mereka tentang materi tersebut.

Hasil yang diharapkan dari PPM adalah, “Students, as they are increasingly posed with problems relating to themselves in the world and with the world, will feel increasingly challenged and obliged to response that challenge.” Murid diharapkan tidak demikian saja menerima keberadaannya, tetapi berani untuk secara kritis mempertanyakan keberadaannya, bahkan mengubahnya. PPM dianggap berhasil ketika murid tidak menjadi penghafal informasi, tetapi ketika ia tahu dengan kritis informasi yang dimilikinya, apa kaitan informasi itu dengan dirinya, serta bagaimana memanfaatkannya untuk melakukan suatu perubahan.

TINJAUAN TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE DARI PERSPEKTIF INJILI

Secara mendasar kerangka pemikiran Freire yang bercorak antroposentris berbanding terbalik dengan perspektif Kristen yang bersifat teosentris. Perspektif Kristen yang teosentris melihat bahwa realitas berpusat pada Allah dan bukan pada manusia; pewahyuan bersifat lebih otoritatif daripada pengalaman subjektif manusia; dan nilai dinyatakan oleh Allah sendiri, bukan dipilih oleh manusia.18 Kritik utama terhadap pendidikan yang bercorak humanistik — termasuk di dalamnya, Rekonstruksionisme— dari perspektif Kristen adalah penekanan yang terlalu optimistik terhadap natur dan kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik bagi kemasyarakatan. Perspektif Kristen meyakini bahwa Allah sendirilah yang pada akhirnya dapat dan mampu menciptakan suatu tatanan yang sangat baik mengenai kemasyarakatan. Manusia di dalam kapasitasnya sendiri tidak mungkin dapat menciptakan suatu tatanan sosial, karena di dalam diri manusia terus menerus terjadi pergumulan tiada henti antara natur yang saling bertentangan: natur untuk mengasihi Allah dan juga natur untuk mengikuti kecenderungan berdosa. Bagaimana mungkin manusia, yang di dalam dirinya sendiri pun sering kali mengikuti kecenderungan untuk berdosa, mampu menciptakan suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang penuh keadilan dan kebenaran?

Para pakar pendidikan Kristen Injili, seperti Robert W. Pazmiño, menilai bahwa titik tolak Freire adalah situasi kontekstual dan bukan teks (Alkitab). Akibatnya, dalam pemikiran Freire terdapat beberapa pemikiran khas Kristen yang ia “abaikan” seperti: natur keberdosaan manusia, peranan Roh Kudus dalam diri manusia dan pemberitaan Injil sebagai tugas orang percaya. Mengingat hal-hal tersebut, tidak mengherankan apabila dari perspektif Kristen, menurut Bennie Godwin, “Freire’s theory, epistemology, and axiology are not fully developed.” Menurut pengamat lainnya, berdasarkan salah satu karya Freire yang terakhir, Pedagogy of the Heart, sebenarnya ajaran Kristenlah yang menjadi dasar dalam pemikiran pendidikan Freire. Simak penuturan Clarence Joldersma berikut :

The central role of a Christian faith in Freire’s pedagogy and social critique is certainly born out in one of his last publications, Pedagogy of the Heart (1988). At the end of that work Freire reflects on the Christian vision that has motivated him throughout his life. His overall message of hope for the millions of people that are oppressed around the world has been, in his own mind, unmistakably centered in his own Christian faith.

Memang dalam bukunya yang terakhir Freire banyak merefleksikan tulisan-tulisannya yang terdahulu dari perspektif Kristen. Ia banyak berbicara tentang Tuhan dalam relasinya dengan manusia, sesuatu yang agak tidak biasa di dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Salah satu contoh yang jelas adalah ketika ia menulis, This is how I have always understood God—a presence in history that does not preclude me from making history, but rather push me toward world transformation, which makes it possible to restore humanity of those who exploit and of the weak.

Agaknya perlu ditambahkan sedikit catatan untuk pemikiran Freire tentang BCE dan PPM seperti yang telah dipaparkan di atas. Dari pemaparan di atas tampak kesan yang kuat bahwa secara tegas Freire memilah dan membedakan, bahkan mempertentangkan secara mutlak kedua metode ini. BCE dilihat semata-mata sebagai alat penindasan dan PPM sebagai alat pembebasan. Sebenarnya hubungan antara kedua metode ini dapat dilihat secara lebih dialektis. BCE bukan sama sekali tidak berharga mengingat adanya pendidikan tertentu yang mengharuskan kita menghafal data, teori ataupun pendekatan tertentu yang telah dibangun oleh para ahli terdahulu. Dalam batas-batas tertentu BCE tetap bisa memberikan sumbangsih yang berharga, misalnya : bagaimana seorang murid dapat mengkritik suatu teori tertentu, apabila murid itu sendiri tidak mau mengerti dan memahami (termasuk di dalamnya menghafal) pokok–pokok dari teori tersebut?

SUMBANGSIH PEMIKIRAN FREIRE BAGI PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA

Titik tolak pemikiran Freire yang cenderung lebih bercorak antroposentris memang berbanding terbalik dengan titik tolak pendidikan Kristen yang teosentris. Namun hal ini tidak menutup kenyataan adanya sumbangsih Freire terhadap pendidikan Kristen. Berikut ini adalah sumbangsih pemikirannya bagi pendidikan Kristen. Pertama, filsafat pendidikan Freire berusaha menolak dikotomi antara pengetahuan dan praksis. Menurutnya, kegagalan dalam praksis dapat dikembalikan kepada kegagalan ideologi. Pengetahuan yang tidak sanggup menggerakkan tangan dan kaki untuk bertindak bukanlah pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya dan sepenuhnya. Berbeda dengan corak pendidikan gereja yang cenderung mengasumsikan bahwa orang yang sudah tahu (berpengetahuan) akan secara otomatis bertindak, problem posing method menggunakan praksis sebagai penilai atas kualitas pengetahuan. Sesungguhnya, dikotomi antara pengetahuan dan praksis tidak dapat dipertahankan secara utuh dan penuh.

Dalam pendidikan Kristen yang dilakukan oleh gereja-gereja yang “bernafas” Injili boleh dikatakan masih memberikan tekanan yang cenderung mutlak pada BCE. Guru bertugas hanya menyampaikan suatu ajaran (doktrin denominasinya) tanpa mendialogkan dengan peserta didik bagaimana mengaplikasikan ajaran itu secara real dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, sering kali guru menganggap tugasnya selesai ketika ia telah menyampaikan suatu ajaran, dan sama sekali tidak menunjukkan relevansi pelajaran itu dengan kehidupan sehari-hari. Suasana pengajarannya pun sering kali menjadi satu arah dan cenderung “mematikan” kreativitas berpikir. Hal ini terlihat dari tidak simpatiknya respons terhadap murid yang berani bertanya atau mempertanyakan ajaran tersebut. Sementara itu, sistem evaluasi yang dilakukan cenderung bersifat kognitif, berkisar pada hafalan terhadap ajaran-ajaran dasar seperti Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Tidak mengherankan apabila terdengar pertanyaan-pertanyaan yang terus menjadi “lagu lama” di gereja, seperti, “Ia kan sudah dikatekisasi, kok kelakuannya masih (buruk) seperti itu?” Menjawab pertanyaan seperti itu, para pendidik di gereja pun berdendang, “Semuanya kembali ke setiap pribadi, tugas kami hanya mengajar (baca: menyampaikan informasi).” Para pendidik di gereja sudah seharusnya memikirkan efektivitas kelas-kelas pembinaan yang biasa dilakukan selama ini. Gereja perlu memikirkan kelas-kelas pembinaan yang sifatnya lebih dialogis dalam hubungan antara guru dan murid. Selain itu, kelas-kelas kecil yang interaktif seperti kelompok sel atau kelompok tumbuh bersama nampaknya menjanjikan “atmosfer” yang lebih dialogis dibanding kelaskelas besar. Tentu dengan ditunjang oleh guru yang memang siap untuk berdialog; guru yang siap untuk sekaligus menjadi murid, dan murid yang juga siap untuk secara terbuka membagikan pandangannya. Kedua, filsafat pendidikan Freire berusaha melihat manusia dan kemanusiaannya secara utuh. Terdapat kecenderungan sebagian gereja untuk menilai dan melihat manusia secara parsial, misalnya dengan menggunakan istilah “jiwa yang terhilang.” Dengan demikian, seolaholah manusia hanya memiliki arti di dalam keberadaannya sebagai makhluk rohani yang membutuhkan keselamatan “di sana” saja. Konsekuensinya, tugas pelayanan gereja dianggap selesai ketika manusia sudah mendapatkan kepastian tentang tempatnya “di sana.” Filsafat pendidikan Freire berusaha untuk melihat manusia di dalam pergumulannya di sini dan sekarang. Dengan tidak menafikan kebutuhan manusia akan hal yang di sana dan nanti, pergumulan di sini dan sekarang juga adalah sebuah pergumulan yang perlu secara serius ditanggapi untuk dapat melihat manusia secara utuh.

Untuk dapat menghadapi pergumulan di sini dan sekarang, gereja nampaknya perlu kembali memikirkan ulang dan meng-update bahanbahan pengajarannya. Sebenarnya agak mengherankan apabila ada gereja di abad ke-21 ini yang masih merasa cukup dengan buku pengajaran yang ditulis pada abad ke-18, misalnya Katekismus Heidelberg, tanpa ada usaha sedikit pun untuk membuat bahan tersebut up to date.

Padahal jelas sekali bahwa dari segi waktu saja nampak bahan itu sudah sedemikian tertinggal, belum terhitung dari segi perbedaan latar belakang sosial budaya penulis buku tersebut dan konteks kekinian di Indonesia. Tentu saja materi-materi seperti: kehidupan berdemokrasi, kemiskinan, hak asasi manusia dan ekologi, tidak akan dijumpai di Katekismus Heilderberg, karena memang konteks pergumulannya berbeda. Alihalih melakukan usaha untuk membuat bahan tambahan sebagai pelengkap bahan katekisasinya, gereja cenderung bersifat sakralistik terhadap warisan pengajarannya.

Ketiga, filsafat pendidikan Freire berusaha untuk menempatkan manusia sebagai subjek dan bukan objek di dalam dunia. Pendidikan ini bersifat optimistis terhadap keberadaan manusia sebagai subjek yang mampu bertindak untuk mengubah dunianya. Manusia bukanlah objek dunia sebagaimana diyakini oleh agama yang fatalis, tetapi manusia adalah subjek yang bertindak di dalam dunia. Realita dunia ini bukanlah suatu realita yang harus diterima begitu saja dengan memberikan labellabel keagamaan tertentu, misalnya: dunia menderita akibat dosa, dan manusia juga menderita akibat dari dosa. Realita dunia adalah untuk dihidupi dan diubah menjadi lebih baik. Realita pengaruh dosa terhadap manusia dan kemanusiaan adalah suatu fakta yang harus diperjuangkan untuk diperbaiki dan bukan diterima mentah-mentah begitu saja, atau bahkan “dihindari.” Di dalam sebagian aliran kekristenan nampaknya ada kecenderungan untuk melihat ibadah sebagai sarana untuk “melarikan diri” dari dunia yang ada. Ibadah yang mampu “menggelitik” emosi akan dipadati oleh pengunjung. Jemaat pun akhirnya akan menghadiri ibadah dengan harapan akan mendapatkan “lawatan Allah” entah dalam bentuk-bentuk yang disebut sebagai “tumbang di dalam roh,” “tertawa kudus” ataupun “menari di dalam roh”. Model ibadah seperti ini —yang secara tidak langsung juga merupakan salah satu bentuk pengajaran— tentu saja tidak akan menghasilkan jemaat yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman, tetapi hanya akan menghasilkan orang-orang yang gemar “melarikan diri” dari pergumulan hidup yang nyata di dunia. Herannya, di tengah segala pergumulan yang dihadapi bangsa Indonesia, baik orang Kristen maupun agama lain, masih ada juga gereja yang menuliskan visimisi bergerejanya kurang lebih demikian: mempersiapkan jemaat untuk masuk surga. Betapa tidak relevan dan tidak sensitif.

Gereja nampaknya perlu untuk kembali “membaca,” merenungkan dan bertindak sebagai respons penugasan dari Kepala Gereja ke dalam dirinya. Yesus sang Kepala Gereja mengutus gereja untuk dunia (Yoh. 17:18). Hal ini berarti gereja sudah semestinya ada dan bergumul bersama, bahkan memberikan pengaruh yang baik (garam dan terang) di dalam dunia yang penuh dengan masalah ini. Bukannya menjadi semakin eksklusif dan cenderung “melarikan diri” sebagai akibat dari penekanan yang tidak imbang di dalam pengajarannya.

PENUTUP

Pada akhirnya, tujuan pendidikan Kristen di gereja maupun lembaga lainnya adalah guna mempersiapkan umat Kristen Indonesia untuk menjalani kehidupannya sebagai seorang murid Kristus. Menjadi umat Kristen Indonesia (bukan sekadar di Indonesia) mengimplikasikan adanya suatu tantangan yang khas dan unik yang harus digumuli setiap orang Kristen. Salah satu aspek dari tantangan itu adalah bagaimana mewujudkan suatu partisipasi yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal ini, filsafat pendidikan Freire, seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran berharga yang patut direnungkan. Sebenarnya, apa sih yang akan terjadi seandainya pendidikan di gereja atau lembaga Kristen lainnya gagal atau malah sama sekali tidak berperan dalam “menjadikan” umat Kristen Indonesia berpartisipasi secara nyata di tengah bangsa ini? Untuk menggambarkan apa yang telah dan sedang, serta mungkin akan terjadi, kecemasan Eka Darmaputera berikut ini patut direnungkan : . . . kelumpuhan ini sesungguhnya menyangkut seluruh aspek kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat. Yaitu ketika makna kehadiran kita kian tidak dirasakan, dan suara kita semakin nyaris tak terdengar. Atau kalaupun kehadiran kita itu dirasakan, orang tidak memperdulikannya. Dan kalaupun suara kita terdengar juga, orang tidak merasa perlu mendengarnya. Kehadiran kita semakin dilecehkan dan diremehkan. Kita dibiarkan seperti anjing-anjing menggonggong sementara kafilah terus berjalan. Atau anjing-anjing buduk, yang dikejar-kejar dan dilempar-lempar —just for fun. Amat menyakitkan

1. James E. Reed dan Ronnie Prevost, A History of Christian Education (Nashville:Broadman & Holman, 1993) 350-360. Freire sendiri adalah penganut agama Katolik, namanya disejajarkan dengan: Findley B. Edge, D. Campbell Wyckoff, Sara Little,James Michael Lee, John H. Westerhoff III, Gabriel Moran, James Fowler dan Thomas G. Groome. Groome bahkan secara terang-terangan mengakui pengaruh Freire yang sangat kuat di dalam dirinya.

2 . Pemaparan bagian ini disarikan dari beberapa artikel: “People You Should Know:Freire,” [http://nlu.nl.edu/ace/Resources/Freire.html]; Bentley Leslie, “A Brief Biography,” [http://www.unomaha.edu/~pto/paulo.htm], Moachir Gadotti dan Carlos Alberto Torres,” Paulo Freire: A Homage,” [http://nlu.nl.edu/ace/Homage.html].

3. Sebagaimana dikutip dalam “1. Who is Paulo Freire?” [http://www.nlu.nl.edu/ace/resources/ documents/section1.html].

4. Freire menulis dalam bahasa Portugis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970). Untuk tulisan ini penulis mengambil terbitan Seabury cetakan ke-12, tanpa tahun. Ada perbedaan penomoran halaman antara terbitan Continuum dan Seabury; edisi bahasa Indonesianya diberi judul Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1985).

5. Salah satu pengantar ringkas terbaik untuk memahami pemikiran dan istilahistilah yang sering digunakan oleh Freire adalah tulisan Tom Heaney, ”Issues in Freirean Pedagogy,” [http://nlu.nl.edu/ace/Resources/Documents/FreireIssues.html].

6. Robert W. Pazmiño, Foundational Issues in Christian Education: An Introductionin Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker, 1988) 68.

7. Ozmon & Craver, Philosophical Foundations of Educations (Colombus: Merril,1986) 135-163.

8. Pazmiño, Foundational Issues 109.

9. George R. Knight, Philosophy of Education (Michigan: Andrew University Press, 1989) 116-119.

10. Daniel Schipani, “Liberation Theology and Religious Education” dalam Theologies of Religious Education (ed. Randolph Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996) 307-308.

0 komentar :

Posting Komentar

MOHON MAAF KEPADA PARA PENGUNJUNG BLOG LSBO KHALIFAH DALAM PROSES PERBAIKAN.........