Rabu, 12 Januari 2011

Kemandirian Ekonomi: Menghapus Sistem Ekonomi Subordinasi Membangun Ekonomi Rakyat


Lukman Sah Mariadjang
Ketua LSBO Khalifah 2003

PendahuluanSaat ini kemandirian ekonomi nasional telah menjadi tuntutan riil. Ketergantungan pada keterdiktean oleh pihak luar-negeri digugat sebagai penyelewengan mendasar dari cita-cita kemerdekaan nasional, sekaligus memperpuruk martabat, prestise dan harga diri bangsa. Platform nasional tentang pinjaman luar-negeri yang harus bersifat “sementara” dan “pelengkap” tidak ditaati lagi. 1)

sejak awal kemerdekaan, kemandirian sejati telah tegas digariskan sebagai cita-cita nasional yang harus direalisasi, mewujudkan onafhangkelijk­heid, melepaskan diri dari ketergantungan. Selanjutnya pada awal Orde Baru, yang mewarisi kebangkrutan ekonomi Orde Lama, telah muncul ide mengenai perlunya kita memperoleh pinjaman dari luar-negeri untuk mengangkat perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan itu muncul pula gagasan tentang bagaimana kita harus berhati-hati terhadap pinjaman luar-negeri. Misalnya di dalam penggarisan Tracee Baru di awal Orde Baru (1966) yang digagas oleh Universitas Indonesia, yang banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh dari Fakultas Ekonomi, sempat dikemukakan tentang syarat-syarat untuk menerima pinjaman luar-negeri, yang intinya menyangkut bunga rendah (bukan altruisme) tidak mengikat dan digunakan untuk pembiayaan projek-projek pembangunan ekonomi yang masing-masing mampu mengembalikan sendiri hutang dan bunganya. Tracee Baru yang digelar dan dipelopori orang-orang FEUI masih tegas-tegas mempertahankan Deklarasi Ekonomi (sebagai acuan politik) yang intinya adalah politik ekonomi “berdikari” atau “mandiri”.

Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial

Secara sadar sejak Indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”.

Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD 1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau “asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.    

Mengingat berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme) seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.

 Ada alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market fundamen­talism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.

Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergan­tungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.

Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders) sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki (sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah keber­samaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti kenyataannya sekarang.

Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme (keinlander­an) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.

Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama per­kembangan ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst 2) sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global

Strukturalisme Ekonomi: Paradigma Baru

Keterpurukan Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neo­klasikal yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme dan konven­sionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.

Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). 3) Fundamentalisme pasar, sebagai inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini.4) Kelompok mainstream menjadi identik dengan kelompok market fundamentalists.

Tantangan kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin kemandirian.

Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John Kenneth Galbraith, 5) kiranya baik untuk mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith me­nyatakan bahwa internasionalisasi modal, pro­duksi dan perdagangan yang bebas sebagai wujud utama dari globalisasi, akan me­nimbulkan pember­dayaan ekonomi dan politik (empower­ment) bagi kalangan aktor ekonomi yang mampu atas korban the underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.

Paham strukturalisme, baik strukturalisme awal mau­pun neostrukturalis­me, adalah paham yang menolak ketim­pangan-ketimpangan struktural se­bagai sumber ke­tidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketim­pangan-ketimpangan struk­tural yang berkaitan pe­musatan penguasaan dan pemilikan aset eko­nomi, ketim­pangan distribusi penda­patan, produktivitas dan kesem­patan ekono­mi. Kepedulian akademik-ilmiah pemikir struktur­alis meliputi pula masalah ketimpangan dalam ke­lembagaan, partisipa­si dan emansipasi sosial-ekonomi, pengangguran, kemis­kinan struktural dan masalah ketergantungan serta subordinasi sosial-ekonomi.

Kaum struk­turalis menempatkan ilmu ekono­mi pada peran norma­tifnya, menjelajahi komposisi dan inter­relasi antara para aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-eko­nomi. Apabila struk­tural­isme cen­derung menolak me­kanisme pa­sar-bebas adalah kare­na pasar-bebas secara inheren menum­buhkan ketidak­adilan sosial-ekonomi. Demi­kian itulah maka struk­tural­isme banyak menggelar tuntutan transfor­masi ekonomi dan trans­formasi sosial yang harus diang­gap inherent dalam proses pem­bangunan nasional. Dalam kaitan­nya dengan ancaman dominasi dan hege­moni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa struk­turalisme ber­kaitan erat dengan nasi­onalisme ekonomi. 6)

Kelompok ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market funda­mentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.

Selanjutnya kaum strukturalis, yang mengo­reksi kele­mahan mendasar dari mekanisme pasar dan per­saingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapital­isme globalnya, makin gen­car pula menun­juk­kan kebenaran analitik dan bukti-bukti empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum struk­turalis mulai meng­gunakan is­tilah-istilah keras untuk me­nyentak mindset neo­klasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capital­ism”, “new im­perial­ism”, “cowboy capital­ism”, “Old West capitalism”, “the dangerous cur­rents”, “the winner-take-all market”, “the zero-sum society”, “the winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capital­ism. Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen menga­takan bahwa “the limits to growth dalam 20 tahun menjadi “beyond the limits 7) karena kera­kusan kapitalisme global.

Kaum strukturalis tidak saja menunjukkan kele­mahan (parsialitas) ekonomi neoklasikal, tetapi juga me­ngoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya. Kegagalan pasar dan ketidaksempurna­an pa­sar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesai­kannya micro-macro rift 8) adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisien­si ekonomi pada tataran makro.

Ekonomi neoklasikal berdasar mekanisme per­saingan pasar-bebas terbukti tidak mampu me­nga­tasi ketimpangan-ketimpangan struktural untuk ter­laksananya trans­­­formasi ekonomi dan transfor­masi sosial yang ber­makna. Oleh karena itu struk­turalisme berorien­tasi pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai interven­si mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kele­mahan me­ka­nis­me pasar-bebas dalam perwujud­an demo­krasi ekono­mi adalah (istilah saya) mungkin sekadar mampu mengha­silkan “nilai-tambah ekono­mi” teta­pi tidak menjamin dapat menyumbangkan “ni­lai-tam­bah sosio-kultural” (menjangkau makna parti­si­pasi dan emansipasi kemartabatan), 9) dan pula tim­pang­nya struktur kekuasaan ekonomi, telah men­jadi tema-tema utama dalam pe­mikiran eko­nomi strukturalis.

Strukturalisme peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi, pelumpuh­an (disempower­ment) dan pemiskinan (impoverish­ment) sosial-ekonomi. Apabila eko­nomi neoklasikal ber­orientasi pada per­tumbuhan (growth), maka eko­nomi struk­turalis le­bih mengutama­kan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employ­ment). Bo­leh dibilang, sebagai upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari struktural­isme terutama ada­lah pe­mikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”. 10)

Bagi Indonesia,11) pemikiran-pemikiran stra­tegis, cermat dan mendalam mengenai ketim­pangan-ketimpangan struktural harus tetap dikem­bangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restruk­turisasi untuk mengatasi ketimpangan struk­tural da­pat didesain. Saya menawarkan beberapa butir kebi­jakan restrukturisasi ekonomi dalam artian refor­masi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut: (1) Restruk­turisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struk­tural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan pe­nguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bu­kan sekadar meningkat­kan pendapatan masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai im­plementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat Bagan II). Dalam re­strukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu pe­rampasan seperti ("savage acquisition", "canni­bal redistribution" atau "wild take-over"). (2) Restruk­turisasi alokatif: Menyang­kut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana ang­garan nasional ataupun  daerah,  baik yang  berasal dari  perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap  memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen re­strukturisasi ke arah ter­capainya keseimbangan struktural yang lebih baik. (3) Restrukturisasi spasial (spatial): Restruk­turisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai peme­rataan dan keseimbangan pem­bangunan serta per­tumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan ka­wasan timur Indonesia, an­tara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan per­desaan, dan seterus­nya. (4) Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseim­bangan dinamis antara sek­tor  industri  dan sektor pertanian, antara sektor for­mal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai  sokoguru  perekonomian nasional. (5) Restrukturisasi perpa­jakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak  ada­lah sarana redistribusi. Pada da­sarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khu­susnya ter­hadap kekayaan dan pe­milikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebalik­nya terhadap ke­lompok miskin yang memerlukan pemberdayaan di­berikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan in­sentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif ter­hadap kon­sumsi mewah. (6) Restruk­turisasi stra­tegis: Restruk­turisasi ini untuk memper­kukuh ke­mandirian eko­nomi, mengurangi depen­densi dan meningkat­kan interdependensi resiprokal yang se­imbang dan di­perlukan untuk memperkukuh fun­damental eko­no­mi. Dengan restrukturisasi stra­tegis ini perekono­mian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based. (7) Restruk­turisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorien­tasi sema­cam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak mem­buka akses akan hak-hak rak­yat dan mengembangkan perekonomian rakyat me­lalui sis­tem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-budaya: Restruk­turisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya berman­faat apabila tidak didu­kung oleh restrukturi­sasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Re­strukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturi­sasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearn­ing terha­dap pakem-pakem usang, khusus­nya re­strukturisasi dan demokratisasi pendi­dikan rakyat. 12)

Sementara itu Sritua Arief salah satu tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak adil dan bahwa pasar harus di intervensi. 13)

Saya sendiri telah memberikan gambaran betapa kita harus mewaspadai globalisasi meskipun kita tidak harus menolaknya, saya kemukakan paling tidak ada tiga kelompok yang mempunyai pandangan berbeda mengenai globalisasi yang harus kita perhatikan dengan cermat: (1) Kelompok pengagum; (2) Kelompok kritis dan obyektif; (3) Kelompok yang menolak. 14) Saya sendiri cenderung untuk memihak kelompok ketiga dalam arti mewaspadai dan bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok pertama dan kedua. Bahaya globalisasi akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran I).

Ideologi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat

 Berkali-kali Mubyarto dan saya mengingat­kan bah­wa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus te­lah “keliru”. Saya telah menegaskan ten­tang keterpe­ro­sokan kita ke dalam perangkap teore­tikal-parsial dan yang menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan mengandung ber­bagai ortodoksi, yang akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran II).

 Di paragraph depan telah saya kemukakan mengenai Pasal 33 UUD 1945 dan tugas pelaksanaan cita-cita transformasi ekonomi dan transformasi sosial. Proses transformasi ini tidak akan bisa dilakukan apabila beberapa butir perintang tidak terlebih dulu kita atasi, antara lain: (1) asas perorangan dengan paradigma individualisme dan liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu (self-interest economics yang berpedoman free-competition dan market fundamental­ism); (2) asas kebersamaan dan kekeluargaan berdasar paham kerakyatan (demokrasi ekonomi), di mana kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-perorang (tanpa mengabaikan hak orang-perorang); (3) negara melepaskan diri dari tugasnya sebagai agent of development dan agent of reformation dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan structural (percaya pada the invisible hand yang dalam kenyataan telah kembali menjadi the incapable hand atau the dirty hand); (4) mewaspadai globalisasi dengan ide pasar-bebas dan boderless world-nya;

Untuk itu marilah kita mulai menegaskan lebih dahulu, siapa yang disebut “rakyat”?

Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat? Tentu ia bagian dari rakyat! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “public needs” (yang berdimensi domain publik) dan “individual privacy”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.

 Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutual­ism/mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood/broederschap/ukhu­wah) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei” – suara rakyat suara Tuhan, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak, tidak tunggal. (Ideologi kerakyatan saat ini harus berhadapan dengan adagium baru politik uang “vox populi vox argentum” – suara rakyat suara uang).

 Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi nasional kita berlaku demokrasi ekonomi, yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi  politik”.

Konsep pembangunan ekonomi rakyat sebenarnya sangat jelas bagi yang masih berkeinginan mengetahuinya serta bersedia melepas  pola-pikir lama yang terbukti “bias”, dengan melakukan unlearning secara wajar menuju pemikiran reformatif. Titik-tolaknya adalah "mengabdi rakyat", bukan "mengabdi ilmu" sema­ta-mata. Ilmu harus bisa ditawar dengan misi. Ilmu yang kita kuasai kita kembang­kan dan kita abdikan kepada rakyat dan kepentingannya.

Pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup, kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki kekuatan sebagai strategi pembangunan.

Memang ekonomi rakyat penting untuk mendapat perhatian khusus dari kita. Bukankah dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian besar (ekonomi konglomerasi) ekonomi rakyat ternyata tetap bertahan? Bukankah kita harus bersyukur bahwa dengan terpuruknya ekonomi besar, ekonomi rakyatlah yang ternyata memberi penghidupan dan pekerjaan kepada rakyat. Untuk itu saya ingin mengatakan: “untunglah ada ekonomi rakyat”. Dengan demikian itu kehidupan ekonomi rakyat tetap tersangga dan tejamin.

 Ekonomi rakyat adalah riil dan konkrit. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dan pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dst. yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya. Ini semua memberikan lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan yang sangat luas kepada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat adalah membangun usaha-usaha rakyat yang riil seperti tersebut di atas.

Apabila kita mengingat betapa besarnya BLBI dan Obligasi Rekap yang dikeluarkan Pemerintah kepada para konglomerat hitam, betapa tidak adilnya MSAA yang menjadi sumber hukum bagi pengampunan hutang (keputusan memberikan R&D bagi para penyamun BLBI), memang kita cenderung untuk terpaku pada pola-pikir “perlunya pemihakan” mulai diberikan kepada ekonomi rakyat. Namun pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki peran dan kekuatan sebagai strategi pembangunan.

Makna sebagai strategi pembangun­an itu, antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara partisi­patif-eman­sipatif berkesempatan aktif dalam kegiat­an ekonomi akan lebih menjamin nilai-tambah eko­nomi optimal yang mereka hasilkan dapat secara lang­sung diteri­ma oleh rakyat. Peme­rataan akan ter­jadi seiring dengan per­tum­buhan. (2) Memberda­yakan rakyat merupakan tugas nasional untuk me­ningkatkan produktivi­tas rakyat sehingga rakyat le­bih secara konkret menjadi aset aktif pembangun­an. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk mem­bangun diri dan kehidupan ekonominya meru­pakan investasi ekonomi nasional, me­rupakan hu­man in­vest­ment (bukan pemboros­an atau inefficien­cy) dan mendorong tumbuhnya kelas menengah yang ber­basis grassroots. (3) Pem­bangunan ekonomi rakyat meningkat­kan daya-beli rakyat yang kemudian akan men­jadi energi rakyat untuk lebih mampu mem­bangun diri­nya sen­diri (self-empower­ing), sehingga rakyat mampu me­raih “nilai-tambah ekonomi” dan sekali­gus “nilai-tambah sosial” (nilai-tambah kemar­tabatan). (4) Pem­bangunan eko­nomi rakyat sebagai pemberdayaan rakyat akan meru­pakan pe­ningkatan collective bargaining posi­tion untuk lebih mampu men­cegah eksploitasi dan subordinasi eko­nomi ter­hadap rak­yat. (5) Dengan rakyat yang lebih aktif dan lebih pro­duktif dalam kegiatan ekonomi maka nilai-tambah ekono­mi akan sebanyak mungkin terjadi di dalam negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. (6) Pembangun­an ekonomi  rakyat akan lebih menyesuaikan ke­mampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber alam dalam negeri yang tersedia (factor-endowment Indonesia) ber­dasar strategi resources-based dan people-cen­tered. (7) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih me­nyerap tenaga kerja. (8) Pembangunan ekonomi rak­yat akan bersifat lebih quick-yielding dalam suasana ekonomi yang sesak napas dan langka modal. (9) Pembangunan perekonomian rakyat sebagai  sokoguru perekono­mian nasional akan me­ningkatkan kemandirian ekonomi dalam-negeri pada eko­nomi luar-negeri, akan mene­kan sebanyak mung­kin ketergan­tungan akan import-components dan meningkatkan do­mestic-contents industri dalam-negeri, yang selan­jutnya akan lebih mampu meng­gerakkan pasaran dalam-negeri. (10) Pemberdayaan per­ekonomian rakyat yang akan lebih mampu memperkukuh pasaran dalam-negeri yang akan menjadi dasar bagi pengem­bangan pasar­an luar-negeri (ekspor). (11) Dalam globalisasi ini kita harus tetap waspada terhadap paham globalisme yang cen­de­rung me­nyingkirkan paham nasionalisme. Kepen­tingan na­sional  Indonesia harus te­tap kita utama­kan se­bagaimana negara-negara adidaya selalu memper­tahan­kannya pula dengan berbagai dalih ekonomi dan politik. Pembangun­an perekonomian rakyat akan menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme eko­nomi. (12) Pem­bangunan per­ekonomi­an rakyat dapat dilaksana­kan (imple­mentable) tanpa mem­pergunjingkan ekstremitas positif-negatif­nya peran dan me­kanisme pasar. (13) Pem­bangun­an pereko­nomian rak­yat merupakan misi politik dalam melak­sanakan demo­kratisasi ekonomi  sebagai sumber rasiona­litas dan pemi­hakan kepada rakyat kecil. (14) Satu dekade yang lalu ada ajakan untuk meninjau ulang strategi-strategi pembangun­an (De­velopment Strategies Recon­sidered, Over­seas De­velopment Council, 1987) dan ajakan yang mutahir (The Frontiers of Development Economics, Meier & Striglitz, 2001) menegaskan betapa perlu ada shift of paradigms dalam pemikiran ekonomi. Pereko­nomian rakyat memperoleh tempat dalam rekonsiderasi di situ. Lebih dari itu, bagi mereka yang masih mau melepaskan ortodoksi perlu membaca ide-ide lama dan baru me­ngenai social market economy. (15) Secara ke­seluruhan­nya, butir-butir tersebut di atas akan lebih menjamin ter­jadinya pembangunan Indo­nesia, bu­kan sekadar pembangunan di Indonesia. (16) Pem­­bangunan eko­nomi kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, tidak terlepas dari pem­bangunan rakyat, bangsa dan negara. (17) Dalam kenyataan, ekonomi rakyat telah menghidupi seba­gian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah pasang-surutnya sektor perekonomian formal-mo­dern, sejak awal kemer­dekaan hingga saat ini. Ke­semua­nya men­dukung percepatan upaya melak­sanakan transfor­masi ekonomi dan transfor­masi sosial.

Gerakan Koperasi Internasional (ICA), ILO dan Setjen PBB justru sedang menegaskan ulang tentang pentingnya koperasi untuk memajukan grassroots economy, khususnya ekonomi rakyat. Bahkan Konvensi PBB 2001 (sebagai hasil Sidang Umum-nya) menetapkan pula koperasi sebagai wadah grassroots economy di seluruh dunia perlu didorong maju berkat tiga prestasi utamanya yang telah dibuktikan, yaitu dalam (1) memberantas kemiskinan; (2) menciptakan lapangan kerja secara substantif; dan (3) memper­kukuh integrasi sosial (yang artinya memperkukuh solidaritas sosial). Sementara itu Dunia saat ini mulai banyak bicara mengenai world solidarity dan world equality.

Sayang sekali Indonesia, karena terbenam dalam dept-trap dan cultural-trap, malahan menjadi mudah kagum terhadap ide liberalisme dan privatisasi, serta terbawa arus pemikiran mentah kapitalisme global. Dalam hal ini saya ingin memperingatkan, agar kita menolak privatisasi dan mengutamakan “go-public” demi pemilikan merata oleh rakyat. Mengapa kita tidak berpikir besar demi kemuliaan rakyat: Mengapa Indosat dijual ke asing, padahal Indosat bisa dimiliki oleh para pelanggan ponsel yang pasti mampu membelinya. Mengapa Semen Gresik hendak dijual ke asing pula, padahal baik para developers dalam-negeri maupun para pemilik toko material dalam-negeri mampu membeli saham Semen Gresik; Pemda-Pemda pun bisa diatur dan dibantu untuk mampu memiliki Semen Gresik (daripada uang dihamburkan untuk membiayai Release & Discharge bagi para pengusaha hitam). Mengapa pula BCA dan lain-lain bank dijual ke asing, padahal bisa dibeli oleh para nasabah. Tentu kita bertanya mengapa Indofood tahu-tahu sebagian sahamnya telah dimiliki asing, padahal seharusnya dijual kepada rakyat (para konsumen dalam-negeri) yang dengan setia telah membesarkan dan menjadi pelanggan Indofood. Inilah peran Pemerintah yang harus melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam dimensi perkoperasian, karena dengan demikian itu pemilik Indosat, Semen Gresik, BCA, Indofood adalah para pelanggannya sendiri. Bukankah ciri utama koperasi adalah bahwa pemilik adalah sekaligus pelanggan? Macam inilah yang kita cita-citakan sebagai transformasi ekonomi dan transformasi sosial, sebagai peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat dalam kehidupan sosial-ekonomi. Inilah konsep Triple-Co yang saya ajukan di atas, di mana pemilikan aset nasional tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, tetapi merata dalam wujud co-ownership, co-determination dan co-responsibility yang melibat­kan masyarakat seluas-luasnya, meningkatkan pemilikan (wealth) dan partisipasi rakyat serta mengangkat harkat martabatnya, dari martabat sebagai kuli atau buruh menjadi mitra usaha.

Penutup

Kita telah menghadapi tidak saja debt-trap tetapi culture-trap. Kita tidak mudah melakukan transformasi ekonomi dan transformasi sosial dalam rangka merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional karena kita terbelenggu oleh peraturan hukum ex-kolonial dan pola pikir individualistik, serta lengah mewujudkan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam kehidupan ekonomi. Padahal individualisme dalam wujud self-interest telah mendapat tentangan, baik secara moral maupun teoretikal di dalam perkembangan ilmu ekonomi baru. Paham fundamentalisme pasar mendapat banyak kecaman pula, tidak saja dari segi moralitas tapi juga dari segi teknis dan teoretikal. Pasar mengemban berbagai ketidakmampuan untuk mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan dan keadilan. Mekanisme pasar banyak membuktikan kegagalan-kegagalannya (market failures) terutama dalam menjaga kepentingan mereka yang lemah daya belinya, sehingga pasar-bebas dengan persaingan-bebas yang mengiringinya telah memojokkan pihak yang lemah (the under class) menumbuhkan disempowerment dan impoverishment). Globalisasi yang berse­iringan dengan pasar-bebas dan persaingan-bebas adalah kemasan baru dari kegiatan homo economicus multinasional, dengan insting dasarnya yang predatori dan hegemonik, dan mengemban paham homo homini lupus dalam wajah indahnya yang canggih.

Persaingan (competition) dan kerjasama (cooperation) adalah kekuatan kembar yang menggerakkan dunia. Ilmu ekonomi neoklasikal memperoleh cap sebagai ilmu parsial (terkapsul) karena mengabaikan kerjasama ke dalam theory building dan academic teaching. Padahal kehidupan lebih banyak ditandai dengan kedamaian, tidak selalu diisi dengan perang. Ilmu ekonomi pasar-bebas dengan persaingan bebas menciptakan suatu restless society, padahal dengan kerjasama akan lebih terjamin terbentuknya suatu peaceful society. Krugman, Thurow dan Soros mulai mengecam obsesi persaingan yang menumbuhkan perang dagang global.

Keterjebakan Indonesia di dalam hutang luar-negeri tidak terlepas dari hegemonisme dan berkembangnya imperialisme baru. Kita melihat bukti yang makin nyata dari hari ke hari terjadinya disempowerment terhadap bangsa dan negara Indonesia. Kita menyaksikan pula bahwa yang terjadi saat ini pembangunan di Indonesia dan bukan  pembangunan Indonesia. Disempowerment ini berkelanjutan dengan makin dibiarkannya pengangguran dan kemiskinan rakyat makin meluas. Kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan perluasan lapangan kerja bukanlah hanya suatu kelengahan (mindset dari kelompok market fundamentalists), tetapi patut diwaspadai sebagai suatu kepentingan untuk mendominasi dan melanggengkan ketergantungan nasional. Kelompok ekonomi meanstream Indonesia tidak saja lengah-misi tetapi juga lengah-budaya. Paham meanstream mereka telah menjadikan mereka sebagai tawanan empuk dan target pelumpuhan. Terbentuklah masyarakat komprador dalam gerakan hegemonik terhadap Indonesia ini.

Saya menyadari sulitnya merubah suatu mindset, termasuk apa yang saya alami (di Bappenas) sendiri, yaitu tidak mudah meyakinkan bahwa target “meningkatkan kemandirian” atau “mengurangi ketergantungan” harus berada di atas target pertumbuhan GDP. Tidak mudah pula menerapkan paradigma populis ini: “let us take care of employment, employment will take care of growth”. Syukurlah gerak terjadinya pergeseran paradigma ke arah yang positif ini mulai terasakan.

Sebagai contoh konkrit, Menteri PPN/Bappenas berulangkali telah mengemukakan, dan akan saya ulangi di sini,  agar kita melaksanakan keputusan rakyat, yaitu Tap MPR No. VI/2002, untuk segera mengakhiri kerjasama IMF. Kita melunasi hutang kita dengan cadangan devisa yang telah cukup banyak. Jumlah uang pelunasan ini murah nilainya jika dibandingkan dengan apa yang akan kita peroleh kembali dari tangan mereka (IMF), yaitu kebebasan dalam bertindak untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi diri kita, secara strategis dan terhormat.

 Membiarkan dilanggarnya TAP MPR itu, dengan segala siasat dan cara-cara tersembunyinya, berarti membiarkan bebas bergeraknya political villains seperti yang digambarkan oleh José Ortega y Gasset (1939) dalam La Rebelion de las Masas – tentang bangkitnya pembangkang-pembangkang (liar), yang menjadi penguasa negara tanpa visi dan misi (kecuali misi kelompok kepentingan), yang orang Belanda menerjemahkannya (1954) sebagai De Opstand der Horden. Hal itu menjadi kenyataan, dan kita masuk ke dalam awal dari bencana  nasional yang besar.

Sebagai penutup akan saya ungkapkan di sini sikap Presiden Sukarno yang terpaksa menyatakan keluar dari PBB dan IMF dan mengatakan “go to hell with your aid”, tidak terlepas dari masalah ini.

Presiden Soeharto yang membubarkan IGGI pada tahun 1992 karena membela harga diri bangsa dan rasa berdaulat serta menolak keter­diktean pula. Sikap Menteri Pronk yang seenaknya menginterpretasi­kan pelaksanaan HAM di Indonesia menjadi sebab utamanya. Memang ironis, IGGI lahir karena tuntutan ekonomi, tetapi bubar karena tuntutan kultural. Demikian pula Presiden Soeharto secara sepihak membatalkan rencana pembelian F-16 Amerika Serikat dan merintis pembelian Sukhoi dari Rusia atas alasan yang mirip.

Namun dengan Camdessus (IMF), Presiden Soeharto sempat terjebak dan terdikte, beliau sendiri saya perkirakan menyesal atas keterdiktean ini, beliau terkecoh oleh para economic villains. Dalam mengatasi persoalan kenegaraan, yang kita perlukan adalah teknosof dan politikus negarawan sekaligus. Tatkala IMF hingga saat ini menekan Indonesia dan kaum reformis menolak IMF, para mantan teknokrat Presiden Soeharto ternyata terkesan tetap berpangku-tangan sebagai pilihan sikap budaya.

Kita memang menghadapi krisis politik, krisis kepemimpinan dan krisis ekonomi. Lebih dari itu, sebenarnya kita menghadapi krisis budaya yaitu: krisis jatidiri, krisis harga-diri dan krisis kesadaran nasional.

Oleh karena itu, mengutip ucapan Daoed Joesoef, pembangunan nasional harus pula berdimensi pembangunan innerlijke beschaving.

Lampiran I

Saya ingin mengulanginya lagi kelemahan-kelemahan pengajaran di kampus-kampus kita sekaligus sebagai upaya memberikan ringkasan suatu ekspose ekonomika yang mengabaikan tuntutan moral yang menjadi dasar ilmu ekonomi itu sendiri:

Pertama, pengajaran ilmu ekonomi saat ini belum mampu melepaskan diri dari pemikiran neoklasikal, yang tidak saja bertitik-tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai perilaku homo economicus, tetapi juga masih terus-menerus cenderung meng­abaikan implikasi asumtif mono-utilitas terhadap kenyataan bi-utilitas atau multi-utilitas yang mengandung un­sur-unsur moralitas yang lebih kompleks. Antara Moral Sentiments dan Wealth of Nations memang ada mengandung inkonsistensi sehingga menimbul­kan apa yang di­sebut sebagai “das Smith Problem”. Amitai Etzioni (dan pula Amartya Sen) memberikan pencerahannya perihal ini dalam kaitan dimensi moral ilmu ekonomi.

Kedua, pengajaran ilmu ekonomi, sebagai kelanjutan dari pemikiran neoklasikal, menyandar­kan diri pada paham kompetitivisme dengan kuat­nya. Kompetisi-bebas atau persaingan-bebas, tanpa memperhatikan apakah asumsi-asumsi dasar yang menyertainya realistik atau tidak, baik dalam ke­rangka empirik ataupun moralitas ekonominya, telah membentukkan suatu mindset atau “budaya ekono­mi” berkat dibiarkan berlakunya semacam self-fulfilling presumption secara berkepanjangan.

Kompetitivisme merupakan dunia laga bagi homo economicus, mendorong semangat berebut dan bertarung adu kekuatan, yang telah terbukti tak henti-hentinya membentukkan suatu ”restless so­ciety” ataupun “stressful society. Kompetitivisme tetap ber­hadapan dengan ko­operativisme. Koope­rativisme, yang oleh dunia kam­pus kita belum mem­peroleh tempat semestinya merupakan dunia kerja­sama ba­gi homo ethicus, yang berpedoman pada suatu hubungan ekonomi berdasar mo­ralitas dan etika ekonomi (sebagaimana oleh Lunati diuraikan dan saya gambarkan pada Bagan II).

Ketiga, pengajaran ekonomi di kampus-kam­pus sejak semula telah kita awali dengan paham market fundamentalism. Pasar adalah mekanisme permintaan dan penawaran yang diasumsikan mam­pu melakukan self-regulating (atau self-correcting) melalui an invisible hand sebagaimana dianut oleh kaum Smithian. Namun tidak banyak diajarkan me­ngenai kegagalan-kegagalan pasar (market-failures) dalam pengajaran ilmu ekonomi. Pasar dalam ke­nyataannya tidak cukup mampu melayani kepen­tingan masyarakat. Pasar mengabdi kepada yang kaya, tetapi mengabaikan yang miskin, sehingga pa­da dasarnya pasar telah mengabaikan nilai-nilai moral dan kehidupan ekonomi sebagaimana digam­barkan dalam berbagai versi oleh Galbraith, Heil­broner, Thurow, J.W. Smith, Amartya Sen, Stiglitz, Petras & Veltmeyer dan oleh hampir semua tokoh strukturalis, bahkan akhir-akhir ini tak ter­kecuali oleh Soros dan Krugman.

Di samping itu, kurang pula dibeberkan ke­pada para mahasiswa kita tentang the deficiencies dan the defects of the market mechanism. Seperti telah saya kemukakan, adanya the in­visible hand dalam kenyataan sulit ditampilkan secara riil, yang ada adalah the imperfect hand yang berlaku bagi mereka yang miskin dengan sedikit tenaga beli, ataupun the dirty hand sebagaimana dioperasionali­sasikan oleh the pre­dacious homo economicus yang berkecukupan dengan tenaga beli. Masalah ini tidak banyak disinggung secara eksplisit di ruang-ruang kelas. Lebih berbahaya lagi adalah bahwa kampus-kampus kita terjangkit oleh sikap kagum terha­dap pasar-bebas. Pasar ternobatkan sebagai ber­daulat dan diwajarkan menggusur ke­daulatan rakyat. De­ngan demikian kampus kurang peka akan wujud dan sifat globalisasi serakah yang bersosok pasar-bebas, tempat bersem­bunyinya tur­bo-kapi­talisme global.

Singkatnya, presumption bahwa pasar adalah omniscient dan omnipotent telah bertengger di kam­pus-kampus, tanpa mereka sadari bahwa pasar tidak mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struk­tural, di mana kaum strukturalis pada awalnya bang­kit atas alasan ini.

Keempat, telah diakui adanya apa yang dise­but micro-macro ills (atau micro-macro rifts) di mana ilmu ekonomi mikro dan makro tidak selalu mudah saling bersambung, akibatnya banyak terjadi ketidakcocokan dalam mentransformasikan kepen­tingan orang-serorang ke arah kepentingan publik. Kepentingan orang-seorang pada tataran mikro ber­tumpu pada self-interest, yang berkelanjutan dengan Smithian invisible hand, free market, free com­petition pada tataran makronya dipresentasikan tan­pa friksi sebagai mekanisme resource allocation yang efisien, yang berujung pada kecemerlangan Pareto efficiency yang mengagumkan. Namun tidak tampak diajarkan dalam pengajaran ilmu ekonomi apa yang diasumsikan sebagai tanpa friksi oleh kaum neoklasikal itu; demikian pula belum sepenuhnya terjawab bagai­mana “box diagram” (Bowley/Edge­worth) dapat di­dinamisasi untuk merestrukturisasi ketimpangan struktural dengan tetap menyandarkan pada meka­nisme pasar-bebas.

lima, pengajaran ilmu ekonomi kurang memberikan perhatian cukup tentang sistem eko­nomi komparatif di luar ortodoksi kapitalisme vs sosialisme. Bahkan sekarang, dengan dipersepsikan­nya secara populer bahwa sosialisme telah “ka­lah” dan kapitalisme “telah menang” tanpa suatu pen­dalaman (scrutiny) menurut pendapat saya, sebagai­mana saya kemukakan di atas, merupakan kasus Stiglitz vs Petras & Veltmeyer. Dengan demikian ini maka pengajaran ilmu ekonomi makin menjadi sem­pit dan terkapsul oleh kom­petitivisme neoklasikal. Dengan demikian pula sebagai akibat­nya faktor-faktor nonekonomi, terutama ideo­logi nasional, kelembagaan dan lingkungan spesifik, yang sebenar­nya merupakan kandungan dasar (basic contents) dari setiap sistem ekonomi, hanya diacu sebagai faktor-faktor ad-hoc, ibaratnya sebagai pe­ngetahuan umum, yang tidak diper­lakukan sebagai bagian integral dari suatu sistem ekonomi yang berlaku. Oleh karena itu pengajaran ilmu ekonomi tetap saja dalam posisi status-quo atau berjalan “as usual”.

Keenam, pengajaran ilmu ekonomi sejak awal telah diberikan kepada mahasiswa tanpa mem­bedakan antara prinsip-prinsip ekonomi dan hu­kum-hukum ekonomi (yang lebih bersifat teknis dan be­bas-nilai) dengan pemikiran dan paham ekonomi (yang tidak bebas-nilai). Padahal buku teks ilmu ekonomi yang kita gunakan masih berasal dari Barat, khususnya Amerika Serikat, yang tidak bebas-nilai. Oleh karena itu boleh dibilang bahwa untuk setiap bab atau bahkan paragrap para pengajar harus kreatif dan inovatif, mampu me­modifikasi, me­ngoreksi, mengadaptasi—tidak hanya mengadopsi, substansi buku-buku teks. Sikap kreatif dan inovatif ini diperlukan manakala nilai-nilai ekonomi yang bertumpu pada asas per­orangan (individualism) bertubrukan de­ngan yang bertumpu pada asas ke­keluargaan/kebersamaan (mutualism/collectiv­ism), manakala private wants bertentangan dengan public needs atau seba­liknya, demikian pula manakala masalah ideologi, kelembagaan, ling­kungan spesifik dan se­macamnya bervariasi atau bahkan samasekali ber­beda dalam konteksnya antara negara satu de­ngan negara lain, antara negara maju dengan ne­gara berkembang, antara Timur dengan Barat.

Ketujuh, lebih mencemaskan lagi adalah pe­lajaran ilmu ekonomi di sekolah-sekolah me­nengah kita, yang tidak saja sepenuhnya menjiplak keke­liruan yang terjadi di kampus-kampus (meng­ajarkan neo­klasikal dan memper­kenalkan akhlak homo econo­micus tanpa memperke­nalkan moralitas eko­nomi Indonesia), tetapi juga telah mengucilkan ilmu eko­nomi yang diajar­kan itu dari konteks Indo­nesia dan kekhususannya, baik konteks ideologi, sosial, kul­tural, insti­tusional, agama mau­pun konteks his­tori dan geografi Indo­nesia. Dalam pengajaran ilmu eko­nomi, kita meng­ingkari plural­isme Indonesia yang mengun­dang pen­dekatan multi­dimensional. Tuntut­an-tun­tutan khu­sus bagi Indo­nesia sebagai “negara ke­pulauan” dalam menggalang kesatuan dan kon­soli­dasi ekonomi na­sional, keber­kahan geografis (baik struk­tur dan letak) dan ke­kayaan alam me­limpah, yang keseluruh­annya sangat berbeda dengan cara pan­dang ekonomi kontinental, telah begitu saja diabai­kan dalam peng­ajaran ilmu ekonomi. Akibat­nya, anak didik akan men­jadi anggota masya­rakat yang le­ngah, ter­kucil dari kenyataan Indonesia, yang akan berakibat ku­rang dimi­likinya kepedulian pada ke­kuatan ekonomi na­sional dan ekonomi rakyat.

Kedelapan, sebenarnya sudah lama kita me­nyadari kelemahan kita dalam pengajaran ilmu eko­nomi. Pengajaran ilmu ekonomi banyak mengabai­kan metode induktif dan lebih menekankan pada metode deduktif, sehingga anak didik kita banyak kehilangan pemahaman mengenai realita dan ke­nya­taan em­pirik, akibatnya hanya akan berkemam­puan cang­gung dalam menghasilkan penyelesaian masa­lah. Keduanya, baik metode pengajaran induk­tif maupun deduktif, penting bagi keparipurnaan lulus­an kita. Lebih parah lagi kasus-kasus em­pirik yang sangat terbatas dari buku teks banyak berorientasi pada kasus-kasus mancanegara, khu­sus­nya Amerika dengan social dan institutional settings yang sama­sekali berbeda. Hal ini meng­ingatkan kepada saya me­ngenai lelucon intelektual yang terjadi pada tahun 1812 tentang musibah kela­paran di Gujarat. Guber­nur Bombay pada waktu itu menolak usulan agar mengirimkan bahan ma­kanan ke daerah yang dilanda kelaparan, agar masalah itu diselesaikan oleh mekanisme pasar sesuai dengan apa yang ia baca di buku Adam Smith, Wealth of Nations  tentang beroperasinya the invisble hand. Akibatnya ratusan ribu orang meninggal dunia.  Ini bukan saja merupakan masa­lah teori ataupun asumsi di balik teori, tetapi adalah juga keam­buradulan antara pola pikir deduktif vs induk­tif dan sekaligus adalah kecanggungan in­telek­tual dalam mem­perhitungkan institu­tional setting dan tuntut­an em­pirikal. Barang­kali hal se­macam ini telah pula terjadi di Indonesia.

Kesembilan, di ruang-ruang kelas globalisasi ekonomi banyak diungkapkan sebagai suatu cita-cita untuk mencapai efisiensi ekonomi dunia, mengatasi ber­bagai barriers transaksi-transaksi ekonomi dan membuka isolasi atau eksklusivisme kegiatan ekono­mi. Internasionalisasi sumber-sumber eko­nomi, ter­utama modal, teknologi, keahlian dan informasi me­rupakan salah satu wujudnya, membentuk dunia se­bagai a networked-economy. The electronic herd men­jadi salah satu penggerak utamanya. Dari sini diben­tukkan suatu opini bahwa dunia tanpa batas-batas (borderless world) menjadi suatu yang diper­lukan untuk berhasilnya globalisasi ekonomi. Globa­lisasi yang menjangkau bidang-bidang politik sosial-budaya, agama dan teknologi, baik sebagai penyebab maupun akibat dari globalisasi ekonomi, terkait satu sama lain antarkawasan-kawasan di se­luruh jagad. Lalu dikukuhkan dengan opinion building tentang berakhirnya negara-negara bangsa (the end of nation states). Kampus-kampus kita sempat menga­gumi pan­dangan ini, bahkan sempat dikemukakan antara lain oleh tokoh akademisi di Universitas Indo­nesia bahwa inilah ke­sempatan bagi kita untuk tidak men­jadi “katak da­lam tempurung”, untuk berkesem­patan maju sebagai warga dunia yang terhormat. Bagi saya ini meru­pakan suatu absurditas in optima forma. Karya Nobel laureate seperti Stiglitz pun, yang seca­ra khusus menguraikan mengenai globalization and its discontents secara panjang lebar, tidak menyen­tak para pengagum globalisasi dari kelengahan aka­demis-kulturalnya ini.

Lampiran II

Joan Robinson  (1962).

“… Suatu sebab yang dapat menjelaskan mengapa ke­hidupan modern telah menjadi demikian tidak nyamannya adalah karena kita telah menjadi sadar-diri tentang hal-hal yang sebelumnya telah dianggap sebagai semestinya. Semula orang mempercayai apa yang dipercayainya karena mereka mengira hal tersebut memang demikian halnya, ataupun karena dianggap benar oleh mereka yang dianggap dapat berpikir secara benar … kita mulai mempertanyakan: mengapa saya memper­cayai apa yang saya percayai sebagai benar.… Kebenaran tidak lagi men­ja­di benar. Kejahatan tidak lagi menjadi sesuatu yang jahat .… 'Se­mua tergantung pada apa sebenarnya yang dimaksud­kan'. Tetapi kalau demikan halnya maka kehidupan akan men­jadi mustahil — untuk itu kita harus menemukan suatu jalan keluar …”.

 M. Teresa Lunati (1997).

“… ‘Homo economicus’ atau ‘manusia ekonomi’ adalah agen individual yang berada di pusat teori ekonomi neoklasik (teori utilitarian, hedonis dan menitikpusatkan pada diri-sendiri, yang rasionalis dan beretika individualis). Ia egois, rasional, berupaya untuk mencapai utilitas secara maksimum. Ia bertindak secara independen dan nonkooperatif, sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri akan masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata oleh kepen­tingan-diri pribadi secara sempit. Economic man atau manusia ekonomi bersifat materialistik tanpa emosi samasekali dan me­rupakan manusia yang membuat perhitungan dengan kepala dingin: ia seorang 'egois yang rasional’…. ‘Homo economicus’ modern secara bengis bersikap rasional, ia tamak dan opor­tunistik; ia tak dapat dipercaya dan ia tidak mempercayai orang lain, ia tidak mampu memberi komitmen dan akan selalu berupaya untuk mendapat manfaat secara gratis; ia menganggap keegoisannya serta segala sifat dan perilakunya sebagai wajar...”. Sebalik­nya: “... ‘Homo ethicus’ samasekali berbeda dan bahkan meru­pakan kebalikan dari homo economicus. Ia seorang altruis­tik dan individu yang kooperatif, jujur dan cenderung berbicara tentang kebenaran, ia dapat dipercaya dan memper­cayai orang lain. Ia memperoleh kepuasan moral dan emosional dari menghormati kewajibannya kepada orang lain, ia mem­punyai kesadaran yang tinggi akan kewajiban dan mempunyai komitmen yang kuat atas tercapainya tujuan-tujuan sosial.  Ia merupakan seorang 'team-player’ alamiah, ia dapat secara efektif mengkoordinasi tin­dakannya dengan tindakan orang lain dan bekerja demi manfaat bersama dengan orang lain. Ia menganggap resiprositas merupakan sesuatu yang wajar, mes­kipun bukan se­bagai alasan penting agar ia bisa mendapat manfaat secara gratis atau berperilaku dalam suatu kepentingan kolektif …”.

Amartya Sen (1990).

“… seberapa tepatkah asumsi maksimisasi kepen­tingan-pribadi merupakan penggam­baran dari perilaku manusia yang sebenarnya? Apakah yang dinamakan ‘economic man’, yang mengejar kepentingan diri-pribadinya, memberikan suatu per­kiraan yang paling mendekati perilaku manusia, paling tidak di bidang ekonomi? Hal ini memang merupakan asumsi standar dalam ilmu ekonomi … pernyataan bahwa teori kepentingan diri-pribadi ‘akan menang’ biasanya didasarkan pada suatu pemi­kiran teoretis secara khusus dari pada atas dasar pembuktian empiris … permasalahan yang paling mendasar sebenarnya adalah apakah ada berbagai pluralitas motivasi yang beragam, atau apakah hanya terdapat kepentingan diri-pribadi semata yang mendorong manusia dalam berperilaku…”.

Joan Robinson (1962.

“… Ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalis­me … Aspirasi negara berkembang lebih tertuju pada tercapai dan terpeliharanya kemerdekaan serta harga diri bangsa dari­pada sekadar untuk makan … Para penganut mazhab klasik men­jagoi perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini mengun­tungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…”.

Leah Greenfeld (2001).

“… Meskipun ada yang mengatakan bahwa dewasa ini kita berada pada masa kapitalisme tahap lanjut, dan bahkan mungkin telah mencapai tahap pascaindustrialisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalisme … tidak menghilang, dan bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera menghilang… Nasionalisme pertama kali muncul di Inggris dan telah sangat mempengaruhi pandangan masyarakatnya … ciri-ciri pertum­buhan yang ber­kesinambungan dari suatu perekonomian mo­dern ternyata tidak berlangsung secara ber­kesinambungan; per­tumbuhan hanya akan berkesinambungan justru jika di dorong dan di topang oleh nasionalisme…”.

Umer Chapra (2002).

“… Keterkutukan ilmu ekonomi konvensional (yang dimaksudkan adalah aliran neoklasik: penulis) atas pertim­bangan nilai serta diberikannya tekanan yang berlebihan pada peningkatan harta dan pencapaian kepuasan atas kebutuhan secara mak­simal serta pengabdian pada kepentingan diri-pribadi, merupakan suatu penyimpangan yang jelas dari filsafat dasar sebagian besar agama … Agama-agama ini umumnya ber­pendirian bahwa kemakmuran materiil, meskipun perlu, tidak­lah mencukupi un­tuk mencapai kesejahteraan manusia … selain itu, meskipun persaingan sangat perlu, persaingan tidak cukup memadai un­tuk dapat mengendalikan kepentingan individu dan dapat menjamin terpeliharanya kepentingan sosial, ataupun da­pat menghindari setiap bentuk perbuatan salah dan ketidak­adilan…”.

George Soros (1998).

“… tetapi fundamentalisme pasar telah menjadi demi­kian kuatnya sehingga kekuatan politik manapun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis dan naif …. Namun sebenarnya fundamentalisme pasar itu sendirilah  yang naif dan tidak logis. Andaikata kita mengenyampingkan masalah-masalah yang lebih luas yang menyangkut moralitas dan etika serta memfokuskan diri  hanya pada bidang ekonomi, maka ideologi fundamentalisme pasarpun masih mengandung kele­mahan yang sangat mendalam dan yang tak dapat diperbaiki lagi. Pendek kata, apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalis­me global. Hal ini merupakan implikasi yang paling jelas dari argu­mentasi saya di dalam buku ini…”.

Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow (1994).

“... mekanisme pasar adalah suatu instrumen yang tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk masyarakat yang telah makmur ... mekanisme pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tetapi tak perduli pada yang miskin … mekanisme pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral …”.

Lester C. Thurow (1983).

“… ilmu ekonomi sedang berada dalam keadaan yang kacau … ilmu ekonominya buku teks dan yang diajarkan di berbagai sekolah pascasarjana tidak saja masih mengajarkan model harga-lelangan tetapi telah menuju pada penafsiran yang semakin sempit … kecanggihan pendekatan matematis semakin meninggi tatkala pemahaman tentang dunia realita menurun ... ilmu ekonomi memang tak akan ada tanpa adanya penyeder­hanaan asumsi, namun triknya yang penting adalah dapat meng­gunakan asumsi yang tepat pada waktu yang tepat, dan ke­mampuan menilai ketepatan ini harus timbul dari analisis-analisis empirik termasuk yang dipergunakan oleh para ahli sejarah, para psikolog, ahli ilmu sosial dan para ilmu politik…”.

Lester C. Thurow (2000).

“... Perlu dijaga keseimbangan antara persaingan dan kerja-sama .... Di lain pihak, dalam sistem kapitalisme para pihak yang menang tidak perlu bermusyawarah dengan para pihak yang kalah di dalam aparat perencanaan.  Pihak yang menang dengan bengis akan meminggirkan para pihak yang kalah di dalam pasar …. Sejarah telah memberi suatu pelajaran yang jelas.  Pendulum dapat mengayun terlalu jauh ke salah satu arah …”.

George Soros (1998).

“…Terdapat suatu anggapan yang telah meluas bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan bersamaan. Dalam kenya­taan, hubungannya sangat kompleks. Kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai kekuatan pengimbang karena sistem kapi­talisme itu sendiri tidak mempunyai kecenderungan untuk men­capai ekuilibrium. Para pemilik modal berupaya untuk memak­simumkan laba mereka. Apabila cara-cara mereka dibiarkan se­cara lepas, maka mereka akan terus berupaya untuk meng­akumulasi modal sampai suatu tingkat ketika tercapai ketidak­seimbangan. Marx dan Engels, 150 tahun yang lalu, telah mem­buat suatu kajian yang sangat baik tentang sistem kapitalis, yang menurut pendapat saya, dalam beberapa segi lebih baik daripada teori ekuilibrium yang dikemukakan kaum ekonom klasik. Pe­mecahan yang mereka usulkan, yaitu komunisme, ternyata lebih buruk daripada penyakitnya sendiri. Tetapi sebab utama menga­pa ramalam mereka yang suram tidak menjadi kenyataan adalah karena adanya langkah-langkah intervensionis politik sebagai penyeimbang di berbagai negara demokratis. Sayangnya, kita sekali lagi berada dalam bahaya untuk mengambil kesimpulan yang salah dari pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah.  Kali ini bahayanya bukan datang dari komunisme tetapi dari funda­mentalisme pasar. Komunisme  telah menghapuskan mekanisme pasar dan memberlakukan pengendalian kolektif atas semua aktivitas ekonomi. Fundamentalisme pasar berupaya mengha­puskan keputusan kolektif dan memaksakan supremasi nilai-nilai pasar terhadap seluruh nilai-nilai politik dan sosial. Kedua ektrem ini keliru, yang kita perlukan adalah suatu keseimbangan yang tepat antara politik dan pasar, antara membuat aturan dan berperilaku menurut aturan…”.

George W. Bush (2002).

                “… Konsep ‘pasar-bebas’ muncul sebagai suatu prinsip moral bahkan sejak sebelum menjadi sebuah tiang ilmu ekonomi. Apabila anda bisa membuat sesuatu yang pihak-pihak lain menghargainya, anda harus dapat menjualnya kepada mereka. Apabila pihak-pihak lain membuat sesuatu yang anda meng­hargainya, maka anda harus dapat pula membelinya. Ini adalah kebebasan yang sebenarnya, untuk seseorang—atau suatu negara—dalam mencari penghidupan…”. (Bagian dari American Defence and Security Strategy).

James Petras dan Henry Veltmeyer (2001).

“… dinamika globalisasi di Asia, negara-negara bekas Uni Soviet, Afrika dan Amerika Latin sedang menimbulkan banyak kesengsaraan hidup, tetapi juga telah menciptakan suatu kesempatan historis untuk dapat mencapai sesuatu yang melebihi kapitalisme. Akan merupakan suatu kegagalan kebe­ranian yang besar berpuas dengan mencapai sesuatu yang lebih rendah daripada suatu masyarakat sosialis ‘baru’, yaitu suatu bangsa baru sebagai suatu bagian dari keseluruhan yang integral, suatu budaya barunya kaum parti­sipan dan bukan kaum penonton, suatu internasionalisme baru dari semua pihak yang berkedudukan setara …”.

 Lester C. Thurow (2000).

“... belajar untuk mengetahui bagaimana caranya mem­buat perekonomian global baru ini beroperasi akan memerlukan waktu yang tidak sedikit, disertai hal-hal tak terduga dan ber­bagai kekeliruan sepanjang jalannya. Namun transisi dari ling­kup nasional ke lingkup global akan jauh lebih bergejolak daripada transisi dari lokal ke nasional. Ketika dunia beralih dari ekonomi lokal ke ekonomi nasional, telah ada pemerintah-pemerintahan nasional yang siap belajar bagaimana caranya untuk mengelola prosesnya. Di lain pihak,  tidak ada pemerintah global dapat belajar bagaimana caranya untuk mengelola per­ekonomian global … Parlemen Amerika sangat tidak menyukai istilah ‘super national’: tak ada pihak manapun yang akan men­dirikan suatu pemerintah global dalam waktu dekat ini – ter­lepas apakah keberadaan pemerintahan global itu memang dibutuh­kan atau tidak. Karenanya, dunia akan mempunyai suatu per­ekonomian global tanpa suatu pemerintahan global. Implikasi­nya adalah akan adanya suatu perekonomian global tanpa ada­nya aturan dan peraturan yang dapat ditegakkan, yang telah disepakati bersama, dan juga tak ada aparat penegak hukum yang dapat dimintai bantuannya apabila ada pihak yang merasa telah diberlakukan secara tidak adil…”.

Jan Tinbergen (1978).

“... kesederhanaan gaya hidup merupakan tujuan pokok dari pembangunan individu dan masyarakat ... sedangkan per­syaratan pokok lainnya adalah adanya solidaritas…”.

Albert Tévoédjrè (1978).

Singa yang tidak membunuh adalah singa yang tidak mengaum.  Ia bagaikan uang, yang mencekik kita tanpa bersuara (peribahasa Tswana).

Gunnar Myrdal (1957).

“… Suatu teori keterbelakangan dan pembangunan yang berguna, itupun kalau pada suatu waktu akan ada teori yang demikian, seharusnya didasarkan pada pemikiran yang dirumus­kan dari pengetahun empirik yang sangat luas tentang per­ubahan sosial yang menyangkut semua aspeknya yang beragam, yang diperoleh  dalam suasana kebebasan yang paling besar dari berbagai nilai tradisional…”.

Joseph E. Stiglitz (1994).

“…Di sini kita menemui salah satu dari berbagai ambi­valensi yang mencerminkan pandangan kita tentang eko­nomi pasar. Persaingan adalah baik, tetapi kita menyangsikan tentang persaingan yang berlebih-lebihan. Kita mendorong adanya kerja­sama di dalam tim, tetapi kita menganggap perlu per­saingan antar mereka di dalamnya. Kita mencela dengan kerutan dahi terhadap mereka yang bersaing secara berlebihan .… Saya telah memberi tekanan akan pentingnya kerjasama, kejujuran dan kepercayaan, sifat-sifat yang baik yang membuat hubungan ekonomi menjadi lebih lancar, tetapi yang pada dirinya sendiri semuanya sering (dan untungnya telah) menuntun ke arah perilaku yang berjalan dengan baik melebihi yang diperlukan oleh kepentingan diri-sendiri…”.

Lester C. Thurow (2000).

“… Dalam hal kegiatan investasi, maka kapitalisme sangat terarah dan sangat memberi batasan.  Hanya  kegiatan investasi, yang teruji dapat menciptakan net present value  positif sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan segala ke­giatan investasi yang menciptakan net present value negatif harus dihentikan. Pasar-bebas diadakan untuk dapat menegak­kan pelaksanaan prinsip-prinsip yang diharuskan oleh teori ekonomi … Kapitalisme muncul dengan berbagai penyakit gene­tik yang telah tertanam di dalamnya — yaitu kecenderungannya untuk menabung dan berinvestasi dalam jumlah yang terlalu kecil. Untuk dapat mengimbangi kecenderungan genetik ini, suatu bangunan harus dilihat bukan hanya sebagai suatu inves­tasi yang untuk meningkatkan konsumsi di masa depan tetapi sebagai suatu tujuan akhir tersendiri…”.

J.W. Smith (2001).

“… Rasa kasih sayang antar sesama manusia, pertim­bangan arif manusia dan bahkan mungkin kelangsungan hidup umat manusia, mengharuskan tatanan perdagangan dunia direstruk­tur, dari suatu bentuk ‘imperialisme korporasi’ saat ini, yang penuh dengan kekerasan, kemiskinan serta kehancuran ling­kungan hidup, menjadi suatu bentuk ‘kapitalisme kooperatif’ yang memperdulikan nasib sesama manusia, dengan kekerasan dan kemiskinan pada tingkat yang minimum dan pembangunan kembali sistem ekologi yang demikian pentingnya bagi ke­langsungan hidup di dunia ini. Mengutip kata-kata John May­nard Keynes, ‘Pada akhirnya, umat manusia akan terbebaskan dari kecintaannya yang berkelebihan dan tidak wajar  akan uang untuk dapat menjawab suatu pertanyaan yang menyangkut eksistensi manusia — yaitu bagaimana manusia dapat hidup secara bijaksana, rukun dan baik.”

Manfred B. Steger (2002).

“… dalam globalisasi … masyarakat di berbagai belahan dunia terkena pengaruh besar dari perubahan transformasi struktur sosial dan lingkungan kultur. Globalisasi kiranya telah memberikan kekayaan dan kesempatan besar bagi sekelompok kecil masyarakat, sementara itu memerosokkan sangat banyak orang ke dalam keterhinaan sebagai orang miskin dan tanpa harapan apa-apa…”.

Lampiran III

Pola Tranformasi Budaya:

STRUKTUR DAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

     UUD 1945

 

Pasal 33 (permanen)                                                                                           Aturan Peralihan (temporer)

   (Dalam Bab XIV “Kesejahteraan                                                                         (Ayat II: “Segala badan negara dan

   Sosial”)                                                                                                                   peraturan yang ada masih langsung

                                                                                                                                   berlaku, selama belum diadakan

                                                                                                                                   yang baru menurut UUD ini”)

 

 


Demokrasi Ekonomi                                                                                             Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

                                                                                                                                (KUHD)/Wetboek van Koophandel

 

bertentangan/
“dualistik”
 
(Asas Kekeluargaan/                                                                                                  (Asas Perorangan)        

Kebersamaan)     

 


      Koperasi                                                                                                          PT (NV); CV; Firma; IMA; dst.

(lembaga ekonomi yang

  berwatak sosial)

 


 Sokoguru (permanen)                                                                                             Nonsokoguru (temporer)

 

 


Moral ekonomi: kerjasama,                                                                               Moral ekonomi: persaingan

   nilai kegunaan, hajat hidup                                                                                (individualisme, liberalisme,

   orang banyak/penting bagi                                                                                kapitalisme), akuisisi (free exit –

   negara (BUMN pendukung                                                                                 free entry)

   sistemik)                                                                                                             Motif ekonomi: laba (profit)

Motif ekonomi: manfaat (benefit)

   sosial-ekonomi

Masa Transisi:
1.     Membangun koperasi sebagai sokoguru
2.    Mendemokratisasikan/­mem-Pasal-33-kan KUHD (pemilikan saham perusahaan oleh koperasi; hubungan industrial Pancasila
 
 

 


UU No. 12/1967 (UU Koperasi)                                                                         UU No. 1/1967 (UU PMA)

Inpres No. 4/1984 (Inpres                                                                  UU No. 14/1967 (UU Perbankan)

KUD/”sapujagat”)                                                                                 UU No. 6/1968 (UU PMDN)

UU No. 25/1992 (UU Koperasi)                                                                         UU No. 4/1971 (one share one vote)

dst.                                                                                                                          UU No. 1/1987 (UU KADIN)

                                                                                                                                Paket-paket deregulasi 1986-1988

                                                                                                                                Paket-paket deregulasi 1988-1992

                                                                                                                                UU No. 7/1992 (UU Perbankan)

                                                                                                                                dst.

Menuju UU Pokok

Perekonomian Nasional


10 butir masalah krusial
(perekonomian disusun; usaha bersama; asas kekeluargaan; penting bagi negara; hajat hidup orang banyak; dikuasai oleh negara; bumi/air/kekayaan alam, sebesar-besar kemakmuran rakyat, orang-seorang).
 
                                                                                                                               

 

                                  

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Sri-Edi Swasono (DPA, 1987); diperbaiki (Dekopin, 1992)                                                          

 

 

Lampiran IV

PLATFORM NASIONAL

Oleh: Lukman Sah Mariadjang

PLATFORM NASIONAL – I

Manifesto Politik: Indonesia Merdeka dan Bersatu (menjunjung tinggi National Sovereignty and Territorial Integrity).

Manifesto Budaya: Bhinneka Tunggal Ika – Pluralisme adalah aset nasional, Pancasila sebagai “asas bersama” (bukan “asas tunggal”) merupakan pemersatu bagi pluralisme.

PLATFORM NASIONAL – II

Persatuan Indonesia dan keberdaulatan Indonesia merupakan tuntutan politik dominan dan final.

PLATFORM NASIONAL – III

Arti Kemerdekaan: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya (Bung Karno).

PLATFORM NASIONAL – IV

Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabaikan tanggungjawab global (politik luar negeri “bebas-aktif”-Bung Hatta).

PLATFORM NASIONAL – V

Yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara.

Pembangunan ekonomi adalah derivat untuk mendukung pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Pengembangan ekonomi rakyat memberi makna substantif terhadap platform ini.

PLATFORM NASIONAL – VI

Hubungan ekonomi nasional berdasar kebersamaan (mutuality) dan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship) yang partisipatif dan emansipatif (Bung Hatta) sebagai upaya transformasi sosial dan transformasi ekonomi menuju tercapainya kesejahteraan sosial.

PLATFORM NASIONAL – VII

Kita harus ikut mendisain ujud globalisasi (sebagai subyek, bukan obyek).

Kita harus tetap mewaspadai globalisasi, jangan sampai kepentingan nasional terdominasi oleh kepentingan global.

PLATFORM NASIONAL –VIII

Untuk melaksanakan Otonomi Daerah dalam NKRI, kita harus tetap memiliki (tidak merongrong) Pemerintah Pusat yang kuat, Pemerintah Pusat adalah milik Daerah-Daerah, yang kita tolak bukan Pemerintah Pusat (Pemerintahan Nasional), yang kita tolak adalah Sentralisme Pusat.

PLATFORM NASIONAL – IX

Yang kita tuju adalah “Pembangunan Indonesia” bukan “Pembangunan di Indonesia”.

PLATFORM NASIONAL – X

Hutang luar negeri bersifat pelengkap dan sementara (Bung Hatta). Investasi asing berdasar mutual benefit, bukan predominasi (tidak overheersen) (Bung Karno dan Bung Hatta).

PLATFORM NASIONAL – XI

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kehidupan rakyat untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dari generasi ke generasi.


1)      Mereka yang mengingkari gugatan ini kiranya terperangkap oleh sindrom “ideology fatigue”, menjadi coquettish dan latah dalam menyongsong de-ideologisasi yang penuh absurditas, lihat Sri-Edi Swasono, Merubah Pakem: Mewaspadai Pasar-Bebas, dari artikel 1988 (Surabaya: Pascasarjana Unair, 2001), hlm. 26.
        Perlu dikemukakan di sini bahwa pada tahun 1970, selaku Staf Khusus Ketua Bappenas, penulis bertugas untuk memimpin pengumpulan data sebagai persiapan awal penyusunan Repelita II. Kebetulan pada periode berikutnya penulis juga menjadi anggota Pokja GBHN pada Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, sebagai lembaga tunggal yang bertugas menyusun naskah resmi GBHN. Ada keterkaitan khusus antara Repelita II dan GBHN 1973 yang menyangkut pinjaman luar-negeri. Pimpinan Bappenas dan Pimpinan Dewan Pertahanan Nasional berpegang pada satu platform nasional yang ditetapkan oleh Kepala Negara, yaitu bahwa “pinjaman luar-negeri” merupakan “pelengkap dan bersifat sementara”. Di balik platform itu terpelihara suatu paham politik nasional, yaitu bahwa di dalam pembangunan nasional ini yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara (lihat Lampiran IV). Dengan kata lain, pembangunan ekonomi adalah derivat dari paham politik nasional ini, artinya pembangunan ekonomi berkedudukan sebagai pendukung integral terhadap pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Dari sini berkembang pemikiran strategis yang membedakan antara “pembangunan Indonesia” dengan sekedar “pembangunan di Indonesia” (juga antara “pembangunan ekonomi” dengan “pembangunan manusia seutuhnya”). Platform ini kemudian melembaga ke seluruh birokrasi, dan karena platform ini ditegaskan oleh GBHN, maka platform ini juga tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat. Namun entah mengapa, kemudian di dalam GBHN 1988 platform ini dilepas, tidak lagi kita temukan arahan bahwa pinjaman luar-negeri merupakan pelengkap dan bersifat sementara. Memang sejak tahun 1988 kita mengenal maraknya semangat liberalisasi dan deregulasi. (Platform ini hilang dari GBHN bukan tanpa skenario).
2)      Mengenai nasionalisme dapat saya kutipkan: “…The very nature of economics is rooted in nationalism…The aspirations of the developing coun­tries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat… The hard-headed Classicals were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the World …”, lihat Joan Robinson, Economic Philosophy, Chicago: Aldine Publishing, 1962; “… Today, it is claimed, we live in the period of late capitalism, and possibly in the postindustrial society, yet nationalism … is not gone, nor does it show any signs of being gone soon…. Nationalism first appeared in England, becoming the preponderant vision of society there… the sustained growth charac­teristic of modern economy is not self-sustained; it is stimulated and sustained by national­ism…”, lihat Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; “… It has been a commonplace to view nationalism as the greatest, the most powerful single force in the modern world…”, lihat Ian S. Lustick, Hegemony and The Riddle of Nationalism, Logos 1.3 – Summer 2002, hlm. 18.
3)      Lester C. Thurow,  Gurubesar Ekonomi pada MIT menegaskan: “ economics is in the state of turmoil the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathemati­cal sophistication intensifies as an under­stand­ing of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analys­es including those employ­ed by historians, psycho­logists, sociologists and poli­tical sci­entists…”,  lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), hlm. 236-237.
4)      Robert Heilbroner salah satu tokoh besar Amerika Serikat dalam ilmu ekonomi dan Lester C. Thurow secara konsisten menegaskan mengenai the defects of the market sebagai berikut: “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor market system promote amoral­ity, it is not just an economic failure, but it is a moral failure…, lihat Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained (New York: Simon Schuster, edisi baru, 1994), hlm. 255-256; sementara itu George Soros mengatakan: “… But market fundamentalism has become so powerful that any political forces that dare to resist it are branded as sentimental, illogical, and naïve. …Yet the truth is that market fundamen­talism is itself naïve and illogical. Even if we put aside the bigger moral and ethical questions and concentrate solely on the economic arena, the ideology of market fundamentalism is profoundly and irredeemably flawed. To put the matter sim­ply, market forces, if they are given complete authority even in the purely economic and finan­cial arenas, produce chaos and could ultimately lead to the downfall of the global capitalist system. This is the most important practical implication of my argument in this book…”; lihat George Soros, the Crisis of Global Capitalism (New York: Public Affairs, 1998), hlm. xxii.
5)      Lihat John Kenneth Galbraith, The Culture of Con­tent­ment (Boston: Houghton Mifflin, 1992).
6)      Lihat Leah Greenfeld, the Spirit of Capitalism:…, op. cit., hlm. 4.
7)      Lihat Meadows, Donella H., et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972). Duapuluh tahun  kemudian, sebagai kelanjutan dan evaluasinya, ternyata ‘limits’ itu telah dilampaui, lihat Meadows, Donella H, et al., Beyond the Limits, Forward by Jan Tinbergen (Vermont: Chelsea Green, 1992).
8)      Heilbroner dan Thurow menyebutkannya sebagai “micro-macro ills”, Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained, op. cit, hlm. 256. Dalam ruang kelas akan bisa sangat menarik membicarakan asumsi constant returns to scale vs increasing returns to scale dan transformasinya dari tataran mikro ke tataran makro. Para pengajar dianjurkan untuk membaca “the new growth economics” sebagaimana dikemu­kakan oleh Samuelson yang berkaitan dengan capital deepening, increasing returns to scale, external scale economics, lihat Paul A. Samuelson, “Sparks and Grit from the Anvil of Growth”, dalam Gerald M. Meier dan Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics (Washington DC: IBRD/Oxford Univer­sity Press, 2001), hlm. 492-505.
9)      Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992); lihat pula Sri-Edi Swasono, Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UI-Press, 2001), op.cit.
10)     Dikatakan Mahbub ul Haq “… we were tought to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse  this and take care of the poverty…” (yang dimaksud melalui employment, pen.) as this will take care of GNP”, lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, Development Digest, October 1971, hlm. 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Per­ekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Ke­daulat­an Pasar”, mimeo, Diklatpim, LAN, Denpasar, 21-22 Maret 2002.
11)     Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), hlm. 36-38.
12)     Lihat Sri-Edi Swasono, Pem­bangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rak­yat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 26-43.
13)     Dalam Kata Sambutan pada buku Sri-Edi Swasono, Sritua Arief mengatakan: “…Saya dan Saudara Sri-Edi menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkup internasional yang tidak adil. Pasar harus diintervensi, justru perlu ada a visible hand untuk me­ngatur pasar demi kepentingan negara dan kemas­lahatan masyarakat. Itulah sebabnya kami menolak internasio­nalisasi modal, produksi, dan perdagangan secara bebas. Ini akan merunyamkan ekonomi rakyat bangsa kita…”, lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose …, op. cit., hlm. xii.
14)     (1) Kelompok pengagum dan pemuja globalisasi yang melihat globalisasi semata-mata dari segi-segi po­sitif-imperatifnya, bahwa globalisasi adalah tun­tutan sejarah yang tidak terelakkan, suatu inevitability, suatu realitas dan bukan lagi suatu pilihan. Para akade­misi ekonomi yang berorientasi pada market fundamentalism (Smithi­an) pada umumnya masuk kelompok ini, yang ten­tunya pula menerima dengan mudah paham liberalisme dan kapitalisme. Bagi mereka globalisasi adalah suatu progress dan oppor­tu­nities. (2) Kelompok yang kritis dan lebih objektif da­lam menyimak dan me­nimbang makna globa­lisasi. Glo­ba­lisasi diungkapkan sebagai fenome­na global yang telah mengakibatkan banyak sekali kekecewa­an, bah­kan kebrutal­an sosial-ekonomi dan sosial-kultural, tanpa peduli terhadap nilai-nilai tradisio­nal, yang kesemuanya mengaki­batkan penderitaan yang luas, se­hingga globalisasi harus direformasi secara radikal (Stiglitz, Huntington). Glo­balisasi men­dorong per­saingan secara berlebih yang menju­ruskan kepada konflik perdagangan bahkan mung­kin perang-da­gang dunia (world trade war) (Krugman). Glo­balisasi tidak ber­pihak kepada kaum miskin bah­kan acapkali me­rupakan proses dehumanisasi. Ke­lom­pok ini meru­pakan ke­lom­pok korektif, namun bukan pe­nentang. Dalam ke­lompok ini termasuk mereka yang masih me­nyang­sikan apakah globalisasi bisa ter­wujud benar-benar, apakah suatu global economy bisa ter­bentuk tanpa adanya (dalam kenya­taan atau per­kiraan) suatu global society (Soros, Thurow); bukanlah kesera­kahan ka­pitalisme global yang me­ngiringi glo­balisasi akan selalu condong mem­ben­tukkan sua­tu discri­minatory frag­mented global society? (3) Ke­lompok yang menolak globalisasi, yang pada haki­katnya adalah wujud baru dari im­perialisme (Petras & Veltmeyer, J.W. Smith, Huntington). Globa­lisasi merupa­kan proyek politik ka­um im­perialis global dengan global governance-nya yang nampak terang-terangan ataupun terselubung. Ke­lompok ini me­nem­patkan nasionalis­me ekonomi sebagai suatu ke­kuat­an tang­guh untuk memajukan dan menjaga ke­sinam­bungan kehidupan ekonomi masyarakat ber­dasar kenyataan riil tentang hidup dinamisnya plu­ralisme global (Robinson, Greenfeld). Kelompok ini melihat globalisasi sebagai sosok intruder yang melakukan dolarisasi dan Amerikanisasi, menolak ide global uniformity dan mempertahankan global pluralism serta na­tional uniqueness. Untuk itu bicara mengenai per­lunya suatu aksi kolektif yang terkoordinasi untuk memo­bilisasi kekuatan oposisi dan menolak globa­lisasi yang berinsting dasar predatori ini. Kelompok ini menolak dominasi ataupun subor­dinasi ekonomi, menguta­makan koeksistensi damai antarbangsa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai a new internationalism of equals (Petras & Veltmeyer), lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose…, op.cit., hlm. 123-125.


0 komentar :

Posting Komentar

MOHON MAAF KEPADA PARA PENGUNJUNG BLOG LSBO KHALIFAH DALAM PROSES PERBAIKAN.........